Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengklaim pembahasan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah melibatkan berbagai elemen masyarakat. Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP Arsul Sani mengatakan, salah satunya telah membahas RUU KUHP dengan Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari gabungan 22 lembaga nirlaba.
Daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU KUHP turut memasukkan berbagai rumusan dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP. "Tapi kemudian kan banyak masyarakat sipil lainnya yang tidak memberi perhatian. Baru di tahap mau pengesahan menjadi ramai," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (14/2).
Draft RUU KUHP dianggap dapat melanggar hak kebebasan berekspresi masyarakat di Indonesia. Banyak pasal tersebut yang berpotensi mengkriminalisasi masyarakat ketika melakukan kritik atau menyatakan aspirasi dan pendapatnya.
(Baca juga: RUU KUHP Ancam Kriminalisasi Kritikan Masyarakat)
Sebelumnya, pengacara LBH Pers Gading Yonggar Ditya memaparkan, terdapat 15 klausul dalam berbagai pasal yang dapat melanggar hak tersebut, seperti penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, kepala negara dan wakil kepala negara sahabat, dan penghinaan terhadap pemerintah (263, 264, 269, 284, 285). Lalu, pencemaran nama baik (540), fitnah (541), penghinaan ringan (543), pengaduan fitnah (545).
Kemudian, pencemaran orang yang sudah meninggal (548, 549), penghinaan terhadap simbol negara (281, 282, 283), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (407), penyebaran dan pengembangan ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme (219, 220).
Lalu, pernyataan perasaan permusuhan atau penghinaan terhadap kelompok tertentu (286-289), penghasutan untuk meniadakan keyakinan terhadap agama (350), tindak pidana terhadap kehidupan beragama dan sarana ibadah (352), dan tindak pidana pembocoran rahasia (551), serta pelanggaran kesusilaan (469, 470, 471, 475).
Anggota Panja RUU KUHP lainnya, Taufiqulhadi mengatakan, berbagai akademisi, pakar hukum pidana, serta pakar hukum tata negara juga sudah diundang untuk membahas RUU KUHP. Kendati demikian, Taufiqulhadi menilai tak semua masukan dari berbagai elemen masyarakat tersebut dapat diterima.
(Baca juga: Dikecam, Rancangan KUHP Berpotensi Membungkam Kebebasan Pers)
Taufiqulhadi mencontohkan, ada elemen masyarakat yang menghendaki jika pidana perzinaan dalam Pasal 484 draf RUU KUHP diperluas. Dalam hal ini, laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan dapat dipidana.
Taufiqulhadi menyebut mereka mengancam jika klausul itu tidak dimasukkan maka RUU KUHP tak boleh disahkan. Sementara, ada pula elemen masyarakat yang menyebut jika pidana perzinaan tak boleh dimasukkan dalam RUU KUHP karena rentan mengkriminalisasi masyarakat.
"Kami mencari jalan terbaik, merangkum semua perspektif kemudian membuat dalam norma yang bisa diterima. Zina itu adalah dia harus jadi delik aduan," kata Taufiqulhadi.
Taufiqulhadi menilai masyarakat seharusnya tak menghambat proses pembahasan RUU KUHP dengan menyebut draf aturan tersebut buruk. Sebab, aturan ini udah cukup lama dibahas oleh DPR dan pemerintah namun tak kunjung selesai.
Arsul menambahkan, DPR maupun pemerintah tidak bermaksud melakukan kriminalisasi atau menghambat kebebasan berekspresi masyarakat dan pers melalui RUU KUHP. DPR hanya ingin menempatkan masyarakat dan pers sesuai dengan kultur Indonesia yang penuh sopan santun ketika melakukan kritik.
"Tidak perlu menggunakan kata bodoh, tolol, goblok. Bisa diganti dengan kata lain tapi pesannya sampai, bahwa DPR atau pemerintah keliru," kata Arsul.
(Baca juga: KPK Soroti Kejanggalan Tak Bisa Usut Korupsi Sektor Swasta di KUHP)
Arsul pun membuka peluang agar elemen masyarakat yang mengkritik RUU KUHP ikut memberikan masukan. Sebab, ia mengakui rumusan RUU KUHP saat ini belum final dan masih berpeluan direvisi. "Ini kan masih dalam tahap pembahasan. Belum diketok," kata dia.
Hanya saja, ia meminta agar masukan tersebut tak lagi sekadar berbentuk wacana. Nantinya, lanjut Arsul, elemen masyarakat langsung memberikan rumusan alternatif terhadap pasal yang dikritik. Arsul menyebut elemen masyarakat bisa melakukan hal tersebut dengan mengajukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) kepada Komisi III DPR.
"Yang digunakan adalah 'Pak, kalau pasalnya seperti itu kami terancam, oleh karena itu kami usulkan rumusan alternatif," kata Arsul.