Penyusunan Undang-undang minyak dan gas bumi (UU Migas) yang baru sampai saat ini masih belum selesai. Salah satu faktornya adalah masih belum bulatnya suara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) migas.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Totok Daryanto mengatakan rancangan hingga kini Komisi VII yang membidangi energi dan Komisi VI yang membidangi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) belum mencapai titik temu mengenai BUK Migas. “Rancangan UU Migas sudah di Baleg, tapi definisi BUK itu belum ketemu,” ujar dia pekan lalu.
Dalam draft RUU Migas inisiasi komisi VII DPR yang diperoleh Katadata.co.id, definisi BUK Migas adalah badan usaha yang dibentuk secara khusus berdasarkan Undang-Undang Migas untuk melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir migas. Seluruh modal dan kekayaannya dimiliki oleh negara dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Namun definisi tersebut berseberangan dengan komisi VI DPR. Wakil Ketua Komisi VI DPR Inas Nasrullah Zubir pernah mengatakan seharusnya BUK di bawah koordinasi Kementerian BUMN, bukan Presiden. Ini mengacu Undang-undang BUMN.
Inas khawatir apabila BUK Migas di bawah kewenangan Presiden maka semangat pengelolaan badan usaha secara transparan dan baik menjadi mundur. "Semua BUMN itu memang di bawah Presiden semua, tapi pengelolaan korporasinya dikelola Menteri BUMN. Bagaimana mungkin korporasi BUK dikelola Presiden," ujar dia.
Atas perbedaan pandangan ini, Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya Widya Yudha juga mengharapkan adanya inisiasi dari Baleg. "Kami minta seharusnya difasilitasi oleh baleg,"kata Satya pada Selasa, (21/11/2017).
(Baca: Miliki 5 Unit Kerja, BUK Migas Diklaim Bebas Konflik Kepentingan)
Menurut Totok, rencananya Baleg akan mempertemukan Komisi VI dan VII untuk mencari titik temu atas perbedaan pandangan tersebut pekan ini. “RUU Migas masih menunggu Komisi VI dan VII,” ujar dia.