Ambang Batas Presiden 20%, Pertarungan Pilpres 2019 Akan Mirip 2014

Katadata
Kampanye pilkada 2017.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
12/1/2018, 10.17 WIB

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak uji materi pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Keputusan MK ini mensyaratkan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional. Keputusan ini diperkirakan akan membuat peta pertarungan politik pada pemilihan presiden 2019 mengulang atau mirip dengan Pilpres 2014.

Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya mengatakan, persyaratan pencalonan presiden ini membuat hanya akan ada dua koalisi partai dalam Pilpres 2019.

"Kalau melihat secara konservatif paling mungkin apa yang ada dalam koalisi sekarang. Koalisi pro-pemerintah dan koalisi oposisi," kata Yunarto di Jakarta, Kamis (11/1).

(Baca: MK Tolak Uji Materi UU Pemilu, Ambang Batas Presiden Tetap 20%)

Yunarto mengatakan, hal tersebut nantinya berpotensi hanya akan memunculkan dua pasang calon pada Pilpres 2019. Pasangan calon pertama merupakan petahana, yakni Presiden Joko Widodo.

"Satu lagi adalah koalisi yang dibangun oleh oposisi, entah Prabowo Subianto, entah orang yang dimajukannya seperti Anies Baswedan," kata Yunarto.

Dengan bentukan koalisi tersebut, Yunarto menilai kemungkinan Jokowi akan mendapatkan peluang lebih baik untuk bisa memenangkan Pilpres 2019. Terlebih, suara mayoritas di parlemen saat ini mendukung Jokowi.

"Otomatis Jokowi akan mendapat keuntungan jauh lebih besar," kata Yunarto.

Namun, Yunarto masih menilai masih ada beberapa partai yang kemungkinan pemberian dukungannya bergeser kepada capres dan cawapres tertentu dalam Pilpres 2019. Beberapa partai tersebut saat ini berada di posisi netral, seperti PAN dan Demokrat.

"Keduanya memang seringkali terlihat berubah arah," kata Yunarto.

(Baca: Survei SMRC: Makin Banyak Responden Ingin Duet Jokowi-Prabowo)

Menurut Yunarto, pilihan pengusungan Demokrat nantinya akan ditentukan oleh faktor posisi jabatan dan keuntungan apa yang akan diterima ketika mendukung pasangan calon tertentu. "Faktor kedua adalah bagaimana Demokrat melihat siapa yang berpeluang menang dari kedua calon tersebut," kata Yunarto.

Berdasarkan survei beberapa lembaga riset, elektabilitas Jokowi memang paling unggul dibandingkan yang lainnya. Survei terbaru Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) pada 7-13 Desember 2017, dalam simulasi top of mind, Jokowi masih menempati posisi pertama dengan elektabilitas sebesar 38,9%. Sementara, elektabilitas Prabowo menempati posisi kedua sebesar 10,5%.