Komisi Pemberantasan Korupsi menahan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung. Syafruddin ditahan sebagai tersangka tindak pidana korupsi terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Syafruddin ditahan usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka hari ini. "Iya betul (dilakukan penahanan)," ujar Kabag Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha ketika dihubungi Katadata, Kamis (21/12).
Priharsa mengatakan, Syafruddin ditahan di Rumah Tahanan Negara Klas I Jakarta Timur Cabang Rutan KPK. "Ditahan untuk 20 hari ke depan," kata Priharsa.
(Baca: KPK 'Rahasiakan' Pemeriksaan Tersangka BLBI Syafruddin Temenggung)
Penahanan terhadap Syafruddin dilakukan delapan bulan setelah KPK menetapkannya sebagai tersangka. KPK menduga Syafruddin telah menguntungkan diri sendiri, orang lain, ataupun korporasi, yang telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset BDNI sebesar Rp 4,8 triliun.
Penghitungan kerugian ini berdasarkan audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah diserahkan ke KPK. BPK menyimpulkan adanya indikasi penyimpangan SKL BLBI tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban secara keseluruhan.
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
(Baca: BPK Temukan Kerugian Negara Kasus BLBI Nursalim Rp 4,6 Triliun)
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30% dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70% dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004 sebesar Rp 4,8 triliun.
Nilai tersebut berupa Rp 1,1 triliun ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. "Dari nilai Rp 1,1 triliun itu kemudian dilelang oleh PPA dan didapatkan Rp 220 miliar. Sisanya Rp 4,58 triliun menjadi kerugian negara," kata Febri menjelaskan hasil audit BPK.
(Baca: Syafruddin Temenggung Jadi Tersangka Kasus BLBI Sjamsul Nursalim)