Ketua Dewan Pakar Partai Golkar Agung Laksono meminta agar Setya Novanto bisa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR. Pengunduran diri ini terkait dengan status Setya Novanto sebagai tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Agung mengatakan keputusan mengundurkan diri lebih baik dibandingkan diberhentikan oleh Mahkamah Konstitusi Dewan (MKD) DPR. "Lebih elegan daripada dalam sejarah tercatat diberhentikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan," kata Agung di Sekretariat PPK Kosgoro 1957, Jakarta, Rabu (22/11).
(Baca: Kecewa Pleno Golkar, Organisasi Sayap Desak Munaslub Copot Setnov)
Agung menyatakan, Golkar tak bisa memaksa DPR untuk tidak memberhentikan Novanto. Alasannya, DPR memiliki otoritas sendiri untuk memproses masalah etik yang menyangkut banyak fraksi, tak hanya Golkar. "Kami kan hanya bisa mengimbau dan menugaskan fraksi sendiri tapi tidak bisa memerintahkan fraksi yg lain," kata Agung.
Kendati demikian, ia meminta agar MKD DPR dapat bersabar. Ia mengimbau DPR memberikan waktu agar Novanto mau mengundurkan diri. "Jadi MKD supaya bersabar, berikan waktu beberapa saat mudah-mudahan Pak Novanto bisa menjaga marwah beliau sendiri," kata Agung.
Ketua MKD DPR Sufmi Dasco Ahmad sebelumnya mengatakan, pihaknya tetap akan menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran etik Novanto. Novanto dilaporkan lantaran tak bisa lagi melaksanakan tugas sebagai Ketua DPR RI.
(Baca: Setnov Kirim Surat dari Penjara, Rapat Golkar Batal Ganti Ketua Umum)
Dasco mengatakan, MKD DPR tak akan terpengaruh dengan surat yang disampaikan oleh Novanto dari dalam Rumah Tahanan Kelas 1 Cabang KPK, Jakarta. Dalam surat tersebut, Novanto meminta agar para pimpinan DPR lainnya memberikan kesempatan untuk membuktikan tidak adanya keterlibatan dia dalam kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
Menurut Dasco, MKD tak bisa diintervensi lantaran bersifat independen. MKD akan menggelar rapat konsultasi dengan seluruh fraksi.
Adapun dengan waktu untuk menunggu hingga putusan praperadilan yang diminta Novanto, dia mengatakan hal tersebut bisa berjalan beriringan dengan proses di MKD. "Saya pikir misalnya diproses perkaranya, ya, sambil jalan waktunya juga sama," kata Dasco.
Novanto saat ini telah ditetapkan kembali sebagai tersangka oleh KPK pada Jumat (10/11). Novanto kembali dijerat dalam kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) tahun 2011-2012 di Kementerian Dalam Negeri.
(Baca: Setnov Ditahan, Jokowi Minta Pergantian Ketua DPR Sesuai Aturan)
Dalam kasus ini, Novanto diduga bersama-sama melakukan korupsi dengan Anang, Andi Narogong, Irman, dan Sugiharto dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Novanto pun diduga menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya.
Dia diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun dalam pengadaan paket KTP elektronik tahun 2011-2012 pada Kemendagri. Setya Novanto disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(Lihat juga: Siasat Setya Novanto Berkelit dari KPK)