Survei LSI: Semakin Religius Seseorang Tak Menjamin Bebas Korupsi

Donang Wahyu|KATADATA
ilustrasi
Penulis: Dimas Jarot Bayu
16/11/2017, 13.03 WIB

Semakin religius seseorang ternyata menjamin bebas perilaku korupsi. Hal itu terungkap dari hasil survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) bertajuk Korupsi, Religiositas, dan Intoleransi yang dilakukan 16 sampai 22 Agustus 2017.

Hasil survei tersebut menunjukkan tingkat religius seseorang hanya berpengaruh terhadap sikap anti korupsi, tapi tidak berdampak pada perilaku. “Semakin religius hanya semakin bersikap antikorupsi. Perilaku korup tetap berjalan dan tidak ada hubungannya dengan masalah agama," kata Direktur Eksekutif LSI Kuskridho Ambardi di Jakarta, Rabu (15/11).

Survei tersebut dilakukan terhadap 1.371 responden yang beragama Islam dan telah memiliki hak pilih atau berusia 17 tahun di seluruh Indonesia. LSI menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error sebesar +/- 2,6% pada tingkat kepercayaan 95%.

Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka. Pewawancara bertugas mewawancarai 10 responden di satu desa/kelurahan. Kontrol kualitas terhadap hasil wawancara dilakukan secara acak sebesar 20% dari total sampel dan tidak ditemukan kesalahan berarti.

Hasilnya, 6% warga muslim merasa sangat saleh atau religius dan 68,9% cukup. Kemudian 20,4% merasa kurang, adapun 0,4% menganggap tidak saleh atau sama sekali. Sisanya tidak tahu atau bahkan tidak menjawab.

Kesalehan atau religiositas masyarakat tercermin dalam praktik ritual yang dilakukan. Sebanyak 55,9% warga muslim yang disurvei rutin melakukan salat wajib lima waktu, 28,4% cukup sering, 14,6% jarang, 0,7 tidak pernah, sisanya tidak tahu dan tidak menjawab.

Tidak hanya salat wajib lima waktu, kesalehan mereka juga terlihat dari 67,5% yang rutin melakukan puasa Ramadan. Kemudian 24,6% cukip sering, 7,1 jarang, 0,6 tidak pernah dan sisanya tidak tahu atau tidak menjawab.

Selain itu juga ada 14,4% rutin melakukan salat Sunnah, 30,3% cukup sering, 49,6% jarang, dan hanya 5% tidak pernah. Sisanya tidak tahu atau tidak menjawab.

Namun, kesalehan itu hanya signifikan pada sikap korupsi, bukan perilaku. Melalui analisis korelasi Pearson, hubungan kesalehan dengan sikap korupsi bisa mencapai 0,014, sedangkan pengaruh ke perilaku korupsi hanya 0,344. Adapun korelasi makin signifikan ketika mendekat 0,05.

Secara sederhana perilaku korupsi dapat dijumpai pada mereka yang religius. dan tidak. Kesalehan hanya berpengaruh membentuk sikap mereka terhadap korupsi. Dengan kata lain, tingkat religiositas warga baru berdampak pada level normatif, belum berefek pada tingkat perilaku.

Menurut Dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra, hasil survei itu menunjukkan banyak orang mengaku beriman dan rajin beribadah tapi tidak mengimplementasikan agamanya dalam kehidupan sehari-hari. "Jadi ada keterbelahan antara kesalehan personal dan kesalehan sosial," kata dia.

Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menilai fenomena ini menunjukkan korupsi sudah menjadi ancaman sosial. “Masyarakat memiliki sikap antikorupsi tapi takut untuk memulainya lebih dahulu. Jadi mereka saling menunggu tapi tidak ada yang melakukannya," kata dia.

Di sisi lain, Adnan juga menyoroti peran pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Pemerintah dinilai tidak memberikan insentif bagi masyarakat yang ingin berperilaku antikorupsi.

(Baca: Tren Korupsi Meningkat, KPK Dikebiri)

Mereka yang berperilaku antikorupsi justru dipersulit kariernya. Bahkan, beberapa orang dikriminalisasi karena melaporkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. "Ini mencerminkan betapa berperilaku antikorupsi tidak mendapat insentif," kata Adnan.