Tiga Tahun Jokowi-JK, Puan Klaim Kesejahteraan Masyarakat Membaik

ANTARA FOTO/Maulana Surya
Menko PMK Puan Maharani (kelima kanan) didampingi Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Ravik Karsidi (kelima kiri) berfoto bersama sejumlah mahasiwa baru seusai memberikan kuliah umum di kampus setempat, Solo, Jawa Tengah, Senin (14/8).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
23/10/2017, 17.16 WIB

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengklaim tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia semakin baik yang ditunjukkan dalam indikator menurunnya tingkat kemiskinan selama tiga tahun pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Puan mengungkapkan, tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia 10,64% pada 2017 atau turun 0,22% dari 10,86% pada 2016. Penurunan ini, kata Puan, didorong dengan efektifnya program jaminan pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, kesehatan, pendidikan, serta fasilitas perumahan.

“Program bantuan sosial pemerintah mampu menyangga 26% sampai 30% pengeluaran rumah tangga masyarakat tidak mampu,” ucap Puan di Kantor Staf Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/10). 
(Lihat Ekonografik: Hadapi Ketimpangan, Infrastruktur Daerah Digenjot)

Selain itu, daya beli 40% masyarakat terbawah di Indonesia juga meningkat dari 17,02% pada 2016 menjadi 17,12% pada 2017. Puan mengatakan, meningkatnya daya beli 40% masyarakat terbawah di Indonesia mendorong penurunan indeks gini.

Dia menuturkan, angka rasio indeks gini Indonesia pada 2017 mencapai 0,393 atau menurun 0,001 poin dibandingkan 2016 yang sebesar 0,394. 

Adapun, pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada periode 2015-2016 meningkat hingga 0,91% atau lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan IPM 2010-2015 yang hanya mencapai 0,78%. “Sejak 2016 Indonesia untuk pertama kali menjadi negara dengan kategori high human development,” kata Puan.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan, menurunnya tingkat kemiskinan indeks gini dipengaruhi dari pelaksanaan Program Keluarga Harapan (PKH). Hal ini salah satunya karena jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang terus ditambah setiap tahunnya.

(Baca: Atasi Ketimpangan, Pemerintah Gencar Revitalisasi Pos Lintas Batas)

Khofifah menuturkan, jumlah KPM pada 2016 dan 2017 ditambah sebanyak 2,5 juta dari pada 2015 yang hanya sebesar 3,5 juta. Sehingga total KPM selama 2017 menjadi  6 juta. “Pada 2018 pemerintah akan menambahnya kembali hingga mencapai 10 juta KPM,” kata Khofifah.

Penambahan KPM itu juga menambah anggaran yang dialokasikan. Khofifah menyebut, jumlah anggaran yang dialokasikan pada 2016 dan 2017 meningkat masing-masing sebesar Rp 7,7 triliun dan Rp 11,3 triliun. Padahal, pada 2015 anggaran untuk PKH yang dialokasikan hanya sebesar Rp 6,4 triliun.

“Sementara di 2018, pemerintah kembali menaikkan hingga Rp 17,3 triliun," kata dia. (Baca juga: JK Minta Penyaluran Dana Desa Diperbaiki karena Rentan Penyelewengan)

Khofifah menyebut, efektivitas dapat dilihat dari meningkatnya kehadiran siswa pasca mendapatkan PKH. Kehadiran siswa di Sekolah Dasar meningkat menjadi 49,2%, Sekolah Menengah Pertama (SMP) meningkat 49,9%, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) meningkat sebesar 30,9%.

“Selain itu terdapat kenaikan persentase anak yang melanjutkan ke pendidikan menengah 8,8% serta berdampak pada penurunan jumlah pekerja anak,” kata Khofifah.

Khofifah juga menyebut adanya peningkatan konsumsi per kapita di atas 10% akibat PKH. Belanja pangan untuk protein juga mengalami kenaikan sebesar 6,8%.

Dalam hal akses layanan kesehatan, jumlah ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di fasilitas kesehatan mengalami kenaikan signifikan sebesar 45%. Sementara, pemeriksaan kesehatan balita naik sebesar 47%.

“Sementara itu, dibandingkan sebelum mendapatkan PKH, juga terdapat peningkatan kelahiran di fasilitas kesehatan sebanyak 4,30%, peningkatan kelahiran dibantu tenaga medis sebanyak 6,10%, peningkatan imunisasi lengkap sebanyak 4,50%. PKH juga mendukung penurunan angka penderita kerdil berat atau stunting sebanyak 2,7%,” kata Khofifah.