Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mengajukan diri sebagai pihak ketiga (third parties) kepada Badan Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat terkait kasus yang menjerat Johannes Marliem di Amerika Serikat. Tujuannya agar KPK bisa mendapatkan temuan-temuan baru dari FBI yang berkaitan dengan kasus korupsi proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
"Kami segera akan mengajukan menjadi third parties yang mudah-mudahan kalau nanti ada hal yang didapatkan FBI apakah itu barang atau uang bisa diserahkan ke Indonesia," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di kantornya, Jakarta, Jumat (6/10). (Baca: Saksi Kunci Johannes Marliem Tewas, KPK Terus Sidik Korupsi e-KTP)
Agus menuturkan, kerjasama tersebut penting karena FBI memiliki temuan baru yang mengarah kepada pihak-pihak di Indonesia. Menurut Agus, temuan-temuan baru tersebut dapat digunakan sebagai bukti untuk mengusut perkara e-KTP lebih lanjut. "Itu mudah-mudahan bisa menjadi bukti baru kita memproses selanjutnya," kata Agus.
Agus menuturkan, salah satu temuan tersebut, yakni terkait jam tangan merek Richard Mille senilai US$ 135 ribu. FBI sebelumnya mengungkapkan bahwa Johannes Marliem pernah memberikan jam tangan tersebut kepada Ketua DPR RI Setya Novanto oleh seseorang yang diduga terlibat dalam kasus e-KTP.
"Jam tangan itu infonya ada tiga, yang dua untuk Johannes Marliem sendiri, yang satu diberikan kepada seseorang. Itu yang masih kami teliti," kata Agus.
Penelusuran FBI
Badan Investigasi Federal (FBI) Amerika Serikat mengajukan penyitaan kekayaan Johannes Marliem senilai US$ 12 juta di pengadilan di Minnesota, Amerika Serikat. Dalam pengadilan itu, agen FBI Jonathan Holden dalam pernyataan tertulis mengungkapkan dugaan kekayaan Marliem tersangkut korupsi e-KTP.
Dikutip dari media Wehoville.com dan Star Tribune, Holden menyebut Marliem telah memberikan Ketua Umum DPR RI Setya Novanto sebuah jam tangan merek Richard Mille senilai US$ 135 ribu di Beverly Hills. Dia juga memberikan uang senilai US$ 700 ribu kepada Chaeruman Harahap melalui rekening bank.
Holden menyebut bahwa Marliem merekam semua percakapan itu saat rangkaian wawancara dengan KPK pada Juli 2017 lalu. Holden mengatakan, Marliem dan KPK bernegosiasi selama 18 bulan sebelum pertemuan pada Maret 2017. Pada wawancara Maret itu, Marliem menyebut tak terlibat dalam perkara suap.
“Marliem memutar rekaman mengenai diskusi dengan pejabat pemerintah Indonesia terkait jumlah suap. Marliem juga dilaporkan memperlihatkan dokumen elektronik dan foto relevan lainnya kepada KPK, termasuk jam tangan mahal yang belakangan diberikan kepada anggota parlemen melalui seseorang yang terlibat," kata Holden.
(Baca: Drama Kematian Saksi Kunci Korupsi e-KTP Johannes Marliem)
Holden menyebut bahwa KPK mengatakan kepada FBI bahwa Biomorf Lone Indonesia telah menerima pembayaran subkontrak proyek e-KTP sejumlah US$ 50 juta. Dia mendepositokan uangnya dalam rekening bank pribadi di Indonesia lantas mentransfernya ke akun bank di AS.
Analisis FBI atas catatan bank Marliem menemukan bahwa sekitar Juli 2011 dan Maret 2014, sekitar US$ 13 juta ditransfer dari pembayaran kontrak pemerintah ke akun bank Marliem di Wells Fargo. Sebelum menerima transfer itu, saldo Marliem diketahui hanya sebesar US$ 49,62.
Menurut Holden, Marliem telah meninggalkan konsulat setelah wawancara akhir pada 6 Juli 2017. Dia menyetujui untuk menyediakan pernyataan tertulis dan bukti fisik dan elektronik ke KPK sebagai ganti perlindungan.
KPK memperkirakan Marliem akan datang kemudian harinya untuk menandatangani perjanjian perlindungan. Namun hari itu Marliem menyatakan tidak akan melakukan itu.
Dia mengatakan kepada KPK bahwa berbicara dengan seseorang di Indonesia pada malam sebelumnya yang mengancam agar tidak memberikan informasi sebelum mendapat jaminan lebih lanjut.
Tekanan pada Marliem meningkat pada 8 Agustus 2017 ketika FBI menggeledah rumah yang dia sewa di Edinburgh Avenue. Holden menyatakan ia dan dua agen FBI lainnya menemukan Marliem di hotel dekat bandara Los Angeles lalu sepakat berbicara. Menurut Holden, Marliem mengonfirmasi bahwa dirinya turut terlibat dalam skema suap hanya membantah uang yang diterimanya untuk membayar suap.
Menurut Holden, dalam pernyataan ambigunya Marliem menyebut bahwa dia diberi tahu oleh seseorang untuk membayar US$1 juta (Rp13,4 miliar) ke perusahaan yang kalah dalam tender kontrak e-KTP. "Ketika ditanya lebih rinci dan kenapa melakukannya, penjelasannya hanya karena itu hal biara yang dilakukan di Indonesia," kata Holden.
Marliem kemudian sepakat mempersilakan FBI mencari bukti terkait investigasi ke propertinya di Minessota. Tidak lama setelah wawancara itu Marliem ditahan oleh polisi Los Angeles karena membawa senjata ilegal di rumahnya di Edinburgh.
Marliem dilepaskan dengan cepat pada 8 Agustus malam hari atau pagi keesokan harinya. Marliem kemudian dibebaskan dengan uang jaminan.
Setelah kejadian tersebut, Holden menyatakan kesulitan menghubungi Marliem. Akhirnya, kata Holden, Marliem menjawab lewat surat elektronik dengan ancaman bunuh diri dan mengajukan berbagai tuntutan. Sehari setelahnya, Johannes Marliem dikabarkan bunuh diri.