Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur atas uji materi beralihnya kewenangan pemanfaatan tidak langsung panas bumi untuk sektor kelistrikan ke pemerintah pusat. Kewenangan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi dan Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam amar putusan, MK memutuskan kewenangan pemerintah pusat atas pengelolaan pemanfaatan tidak langsung panas bumi untuk tenaga listrik tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Amar Putusan diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh tujuh Hakim Konstitusi yang diketuai Anwar Uswan pada Selasa, 12 September 2017 dan diucapkan oleh sembilan Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Arief Hidayat dalam Sidang Pleno, pada Rabu (20/9).
Sebelumnya Pemprov Jatim yang terdiri dari Gubernur, Ketua DPRD, dan empat Wakil DPRD merasa dirugikan dengan ditariknya kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengelola pemanfaatan tidak langsung Panas Bumi dengan diterbitkannya UU No.21 Tahun 2014 dan UU No.23 Tahun 2014. Atas dasar itu mereka mengajukan uji materi dengan perkara Nomor 11/PUU-XIV/2016.
Adapun pemohon mengajukan pengujian Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan Pasal 23 ayat (2) UU No.21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, serta Lampiran CC Angka 4 pada Sub Urusan Energi Baru Terbarukan UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal tersebut diuji dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) serta Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.
Menurut MK, pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 memang mempertegas mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Namun, keberadaan maupun karakter panas bumi tidak memungkinkan dibagi-bagi secara administratif, baik dalam konteks provinsi dan terlebih lagi dalam konteks kabupaten/kota.
Pertimbangan Mahkamah ini mengutip dari keterangan ahli geotermal di hadapan Mahkamah. Keterangan itu menyebutkan sistem panas bumi Indonesia memiliki karakter unik terutama dalam hal ini keberadaannya yang bersifat lintas daerah administratif. Oleh karena itu, penetapan wilayah didasarkan bukan atas wilayah administratif melainkan berdasarkan keberadaan sumber panas bumi tersebut. (Baca: PLN Dapat Penugasan Garap Tiga Wilayah Panas Bumi)
Selain itu, mengacu pasal 13 UU Nomor 23 tahun 2014 ada beberapa kriteria yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Kriteria pertama, urusan pemerintahan yang lokasinya lintas daerah provinsi atau lintas negara. Kedua, urusan pemerintahan yang penggunaannya lintas daerah provinsi atau lintas negara.
Ketiga, urusan pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas daerah provinsi atau lintas negara. Keempat, urusan pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh pemerintah pusat. Kelima, urusan pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.
Atas dasar itu, panas bumi memenuhi kriteria tersebut sehingga tepat menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Apalagi mempertimbangkan potensi konflik yang timbul jika diserahkan kewenangannya kepada daerah.
Direktur Panas Bumi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Ditjen EBTKE), Yunus Saefulhak yang hadir dalam sidang tersebut menyampaikan kelegaan dan kebanggaan atas putusan ini. "Kalau sudah menjaga seperti itu, sustainable energi itu akan terjaga, dan akan menjadi warisan anak cucu yang tak pernah habis," ujar dia dikutip dari situs resmi Kementerian ESDM, Jumat (22/9).