Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengklaim menghadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara intens khusus untuk membahas negosiasi dengan PT. Freeport Indonesia. Jonan menangani perundingan dengan Freeport sejak Januari 2017.
Jonan memuji Jokowi yang bersikukuh agar negosiasi dengan perusahaan tambang Amerika Serikat mengikuti ketentuan di Indonesia. Dia mengatakan Jokowi menekankan perpanjangan kontrak Freeport harus dengan beberapa persyaratan seperti divestasi 51%, pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter), hingga bayar pajak.
"Semua ini adalah kegigihan presiden, dia menyatakan kalau minta diperpanjang, harus divestasi 51%, harus bangun smelter, harus bayar pajak lebih besar," kata Jonan usai Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (29/8).
(Baca: Usai Bertemu Jokowi, Jonan Akan Umumkan Negosiasi Freeport Besok)
Mengenai kesepakatan divestasi saham, Jonan membebaskan nasib saham Freeport yang telah didivestasi, apakah akan diambil Badan Usaha Milik Negara atau menjadi alat pemerintah lainnya. Jonan juga membantah penentuan nilai saham akan memasukkan cadangan bawah tanah tambang tersebut. "Jadi dihitung bisnisnya bukan cadangannya," ujar Jonan.
Pemerintah dan PT Freeport Indonesia akhirnya menyelesaikan proses perundingan yang sudah berlangsung sejak Februari lalu. Kedua belah pihak akhirnya memperoleh lima kesepakatan mulai dari divestasi saham hingga perpanjangan kontrak.
(Baca: Setuju Divestasi 51% Saham, Bos Freeport Hargai Kepemimpinan Jokowi)
Kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan final pada pertemuan hari Minggu 27 Agustus 2017. Pertemuan tersebut juga dihadiri beberapa pihak. Dari pihak pemerintah hadir Menteri ESDM Ignasius Jonan selaku Ketua Tim Perundingan Pemerintah dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Sementara dari pihak Freeport hadir President dan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson dan direksi PT Freeport Indonesia.
(Baca: Negosiasi Selesai, Freeport Sepakati 5 Poin Sesuai Instruksi Jokowi)
Kedua belah pihak menyepakati lima hal. Pertama, mengenai dasar hukum PT Freeport Indonesia. Hasil negosiasi itu memutuskan landasan hukum yang mengatur hubungan antara Pemerintah dan PT Freeport Indonesia akan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).
Kedua, divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51% untuk kepemilikan Nasional Indonesia. Namun hal-hal teknis terkait tahapan divestasi dan waktu pelaksanaan akan dibahas oleh tim dari Pemerintah dan PT Freeport Indonesia.
Ketiga, PT Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama lima tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada Oktober 2022. Kecuali terdapat kondisi kahar (force majeur).
Keempat, Stabilitas Penerimaan Negara. Penerimaan negara secara agregat lebih besar dibanding penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang terdokumentasi untuk PT Freeport Indonesia.
Kelima, setelah PT Freeport Indonesia menyepakati empat poin di atas, mereka bisa mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2x10 tahun hingga 2041. Ini sesuai dengan yang diatur dalam IUPK.