Cegah Kasus First Travel, DPR Desak Aturan Batas Minimum Biaya Umrah

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
18/8/2017, 16.01 WIB

Ketua Komisi VIII DPR RI Ali Taher mendesak agar pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) segera merealisasikan aturan batas minimal biaya umrah. Aturan ini dianggap efektif mencegah terjadinya penipuan dan penggelapan uang calon jemaah seperti yang dilakukan agen perjalanan First Travel tidak terulang.

"Kalau sepanjang itu (penetapan aturan batas minimal biaya umrah) belum ada, maka pengusaha yang ilegal atau pengusaha legal tapi menggunakan kesempatan untuk hal yang tidak bagus, maka akan ada terus menerus kasus seperti First Travel," kata Ali di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat (18/8).

(Baca: Tak Ganti Rugi Jemaah First Travel, Kemenag Bakal Atur Biaya Umrah)

Ali menuturkan, permintaan agar pemerintah menerapkan aturan penetapan batas minimum biaya umrah sebenarnya sudah disampaikan DPR kepada Kemenag, dalam hal ini Direktorat Jenderal (Ditjen) Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU), sebelum adanya kasus First Travel. DPR, kata Ali, telah meminta agar Ditjen PHU Kemenag melakukan pemetaan untuk aturan biaya minimum.

Kendati, permintaan tersebut tak kunjung direalisasikan. Padahal pemetaan tersebut penting karena ada beberapa biaya, seperti akomodasi, transportasi, dan konsumsi yang perlu dipertimbangkan sejak awal.

"Sayangnya mapping itu belum dilakukan. Maunya kita mapping itu segera dilakukan supaya jemaah umat Islam yang umrah sudah punya estimasi harga berapa idealnya," ucap Ali.

Selain itu, penetapan batas biaya minimum per daerah dibutuhkan karena biaya perjalanan umrah dari setiap daerah pasti berbeda.

"Biaya umrah Jakarta dan Makassar tidak sama dengan harga Medan dan Palembang misalnya. Itu perlu ada penetapan harga," kata Ali.

(Baca: Korban First Travel Mengadu ke Crisis Center, Berharap Uang Kembali)

Ali menilai batas minimum biaya umrah berkisar di angka US$ 1800-2200. Ali mengatakan, biaya tersebut dapat memastikan jemaah dalam penyelenggaraan ibadah umrah. "Sekaligus kenyamanan dalam beribadah, terutama akomodasi dan konsumsi," ujar dia.

Ali beranggapan, aturan tersebut tak perlu dimasukkan dalam revisi UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH). Penetapan batas minimum biaya umrah tersebut cukup diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA).

Ali mengatakan hal itu dimaksudkan agar jika ada fluktuasi harga, pemerintah dapat langsung mengeluarkan adendum baru untuk perubahan aturan. "Lewat PMA saja yang sewaktu-waktu bisa berubah. Fluktuasi harga kan tidak pasti," kata dia.

Sementara, Menteri Agama  Lukman Hakim Saifuddin menyebut pihaknya saat ini sedang dalam proses pengkajian untuk penetapan batas minimum biaya umrah. Lukman menyebut, pemerintah tengah menilai apakah aturan tersebut benar-benar diperlukan dalam penyelenggaraan umrah.

"Pemerintah sedang mengkaji, sedang mendalami plus minus, manfaat mudharat, perlu tidaknya batas minimum biaya umrah," kata Lukman.

 (Baca: Darmin: Keuntungannya Besar kalau Dana Haji untuk Infrastruktur)

Pemerintah mengklaim terus melakukan pengawasan terhadap berbagai biro perjalanan umrah agar tetap melayani jamaah sesuai prosedur. Lukman mengatakan pemerintah memberi sanksi penghentian operasi atau pencabutan izin jika diketahui ada biro perjalanan yang menelantarkan jemaah.

"Jika jelas buktinya (pelanggaran), pemerintah memberikan sanksi kepada biro travel tersebut. Jadi jelas pemerintah melakukan pengawasan," ujar Lukman.

Saat ini, kata Lukman, pihaknya tengah memantau beberapa biro perjalanan umrah yang dianggap bermasalah. Kendati, ia tak mau mengungkap mana saja biro perjalanan tersebut.

"Ada beberapa yang sedang kita telusuri, lalu kita akan menentukan sikap terhadap beberapa biro travel itu," kata Lukman.

Polisi sejauh ini telah menetapkan Direktur First Travel Andika Surachman dan istrinya, Anniesa Hasibuan sebagai tersangka dugaan penipuan. Keduanya diduga menipu 35 ribu Jemaah dengan nilai kerugian mencapai Rp 500 miliar.

Polisi telah menyita aset tersangka meliputi sejumlah mobil dan rumah mewah, serta bangunan gedung kantor cabang First Travel di Depok. Polisi juga menyita dua rekening perusahaan yang hanya tersisa saldo Rp 1,3 juta dan Rp 1,5 juta.