KPK Klaim Tersangka Kasus BLBI Tak Dapat Buktikan Gugatan Praperadilan

ANTARA FOTO/M Agung Rajasa
Suasana sidang praperadilan tersangka dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Tumenggung.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
1/8/2017, 19.09 WIB

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung (SAT) tak dapat membuktikan dalil-dalil dalam gugatan praperadilan.

Pendapat itu disampaikan KPK dalam berkas kesimpulan yang diserahkan kepada Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (1/8).  Sidang praperadilan yang dipimpin hakim Effendi Muckhtar rencananya akan diputuskan pada Rabu besok (2/8).

Syafruddin menggugat KPK atas penetapan tersangka dalam  kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).  KPK menduga Syafruddin merugikan negara Rp 3,7 triliun atas pemberian Surat Keterangan Lunas kepada obligor BLBI Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tahun 2004.

Berkas kesimpulan KPK terdapat beberapa poin. Pertama, KPK beranggapan Syafruddin tak dapat membuktikan dalilnya karena ketiadaan fakta, bukti, keterangan saksi ataupun ahli yang mendukung. Padahal, hakim praperadilan telah memberikan kesempatan kepada Syafruddin.

 (Baca: Syafruddin Temenggung Jadi Tersangka Kasus BLBI Sjamsul Nursalim)

Keterangan Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lukita D. Tuwo sebagai saksi fakta menguatkan pelanggaran Syafruddin dalam menghapus piutang negara sebesar Rp 3,7 triliun. Hal itu dilakukan dengan penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) atas piutang pemilik PT Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim pada 26 April 2004.

KPK beranggapan, kewenangan BPPN adalah penghapusbukuan, bukan penghapusan piutang negara. Adapun, Kementerian Keuangan yang memiliki kewenangan untuk menghapuskan piutang negara.

"Penghapusan piutang oleh Sjafruddin dilakukan tanpa persetujuan DPR sehingga melanggar UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara," tulis KPK dalam berkas kesimpulan tersebut.

Kedua, KPK menilai bahwa penetapan tersangka atas Syafruddin berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan telah dilakukan penyelidik dan penyidik KPK yang berwenang dan sah menurut UU. Bukti dan keterangan ahli disampaikan ketika persidangan pada 27 Juli 2017.

(Baca: Jokowi Minta Bedakan Inpres Megawati Soal BLBI dengan Pelaksanaan)

"Bahwa proses penetapan tersangka atas diri pemohon telah sah menurut hukum karena telah didasarkan pada bukti permulaan yang cukup atas tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh pemohon," tulis KPK.

KPK pun mengklaim telah membuktikan bahwa prosedur penanganan perkara dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan telah dilakukan secara benar. KPK juga mengklaim penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyelidik yang sah sesuai Pasal 43 jo Pasal 24 ayat (2) dan (3) jo Pasal 21 ayat (1) huruf c UU KPK.

Selain itu, KPK juga menilai tindak pidana yang dilakukan oleh Syafruddin dalam pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham (SPKPS) atau SKL kepada Sjamsul berada dalam ranah hukum publik. Kesimpulan ini didasarkan pada keterangan ahli pidana baik yang dihadirkan pihak KPK maupun Syafruddin, yakni Adnan Paslyadja dan Nindyo Pramono.

Ketiga, KPK pun merasa berwenang menangani perkara dimaksud karena tempus delicti perkara terjadi pada masa berlaku UU nomor 31 tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 (UU tipikor). Sehingga, tindak pidana belum kedaluwarsa.

"Perkara yang disangka dengan UU tipikor yang ancaman hukumannya dengan pidana mati atau pidana seumur hidup maka daluarsanya berdasarkan pasal 78 ayat 1 KUHP selama 18 tahun. Maka untuk tempus tahun 2004 daluarsanya pada tahun 2022," sebut KPK.

Keempat, KPK menilai obyek penyelidikan dan penyidikan yang dilakukannya berbeda dengan Kejaksaan Agung. Hal tersebut berdasarkan beberapa bukti serta keterangan Kwik Kian Gie yang pernah diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Agung dan KPK.

(Baca: Pegang Data, Sri Mulyani Akan Kejar Obligor BLBI di Luar Negeri)

"Saksi secara tegas menyatakan perbedaan perkara yang ditangani Kejaksaan Agung terkait penyimpangan BLBI sebesar kurang lebih Rp 144 triliun, di mana di dalamnya termasuk kucuran dana ke PT BDNI sebesar Rp37 triliun. Sementara, obyek penyidikan KPK terkait dengan pemberian SPKPS/SKL kepada Sjamsul Nursalim kepada pemohon terkait penghapusan piutang petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun," sebut KPK.

Dengan berbagai pertimbangan tersebut, KPK merasa optimis akan memenangkan praperadilan. Juru bicara KPK, Febri Diansyah menuturkan, pihaknya berharap agar putusan praperadilan tersebut dapat melancarkan pengusutan perkara BLBI.

"Kami berharap putusan yang akan dibacakan majelis hakim bisa berkontribusi positif terhadap penuntasan perkara BLBI," ucap Febri di Gedung KPK, Jakarta.