Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20%-25% dalam Undang-undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, merupakan hasil dari produk demokrasi di Dewan Perwakilan Rakyat. Dia mengatakan aturan yang telah ditetapkan secara aklamasi di parlemen, jangan dianggap salah.
“Jangan ditarik-tarik seolah-olah presidential threshold 20% itu salah dan sekali lagi ini produk demokrasi yang ada di DPR,” kata Jokowi kepada wartawan, Jumat (28/7).
Sebelumnya, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto mengkritik keras aturan ambang batas persyaratan pencalonan presiden dengan dukungan 20% kursi dewan atau 25% suara sah nasional.
"Presidential threshold 20% menurut kami adalah lelucon politik yang menipu rakyat Indonesia," kata Prabowo dalam konferensi pers di Cikeas, Kamis malam.
(Baca: Tanggapi SBY-Prabowo, Jokowi: Sekarang Tak Ada Lagi Kekuasaan Absolut)
Jokowi heran kritik terhadap persyaratan ambang batas pencalonan presiden 20%-25% baru disampaikan saat ini. Padahal aturan ini telah diberlakukan dua kali pada pemilu 2009 dan 2014. “Kenapa dulu tidak ramai?” tanya Jokowi.
Jokowi menyatakan presidential threshold 20-25% akan membuat pelaksanaan pemilihan presiden lebih sederhana. Sebaliknya, apabila ambang batas pencalonan presiden sebesar nol persen akan menyebabkan pelaksanaan lebih kompleks karena setiap partai politik dapat mengajukan calon.
Jokowi menegaskan, apabila ada pihak yang tak menyetujui aturan tersebut, dapat mengajukan ke Mahkamah Konstitusi. "Jadi ya silakan itu dinilai, kalau masih ada yang tidak setuju, kembali lagi bisa ke MK, inilah negara demokrasi dan negara hukum yang kita miliki," katanya.
Di tempat terpisah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menilai seluruh partai politik seharusnya dapat menerima ketentuan presidential threshold sebesar 20%-25% dalam UU Pemilu.
Tjahjo mengatakan Partai politik tak seharusnya menolak UU Pemilu setelah disahkan di Paripurna. "Kalau tidak setuju dengan UU itu ya harusnya dibahas di Panja, di Paripurna," kata Tjahjo di Hotel Aryaduta, Jakarta.
(Baca: SBY- Prabowo Sepakat 'Koalisi' Awasi Pemerintahan Jokowi)
Adapun terkait gugatan atas UU Pemilu ke MK, poitikus PDIP itu menilai hanya elemen masyarakat selain partai politik yang dapat mengajukannya. Dia mengatakan, partai politik seharusnya sudah sepakat dan tak perlu mengajukan gugatan ke MK.
"Kalau tidak ya elemen masyarakat yang lain yang bisa mengajukan secara hukum ke MK. Tapi sebagai parpol sudah sepakat di DPR," kata Tjahjo.
Aturan presidential threshold 20%-25% tersebut disetujui menjadi bagian UU Pemilu secara aklamasi oleh 322 dari 539 anggota yang hadir dalam sidang pada Jumat (21/7) dini hari. Para anggota dewan ini berasal dari enam fraksi pendukung pemerintah yakni PDIP, Golkar, Hanura, NasDem, PPP dan PKB.
Sementara empat fraksi yakni Gerindra, PKS, Demokrat dan PAN memilih meninggalkan ruang sidang atau walk out dengan alasan menolak terlibat dalam pengambilan keputusan. . (Baca: Setya Novanto Sahkan UU Pemilu, Empat Fraksi Walk Out)
Sebelum melakukan walk out, Ketua Fraksi Gerindra di DPR RI Ahmad Muzani menegaskan opsi ambang batas presiden nol persen merupakan prinsip yang tak dapat ditinggalkan. Muzani berpegang teguh aturan Mahkamah Konstitusi mengenai pemilihan presiden serentak otomatis tak memerlukan syarat ambang batas pengajuan calon presiden.
“Kami pegang prinsip ambang batas presiden nol persen karena itu prinsip, kami menawarkan ini sebagai suatu solusi untuk menghindari masalah di masa depan," kata Muzani.
Anggota Fraksi Gerindra lainnya, Ramson Siagian mengatakan aturan keberadaan presidential threshold sebesar 20%-25% berpotensi memunculkan calon tunggal. "Kalau dipaksakan 20% kursi di dewan, berpotensi calon tunggal terjadi dan ini tak sesuai dengan amanat reformasi yang kita perjuangkan," kata Ramson.
(Baca: Persoalkan Syarat Capres, Gerindra dan Yusril Akan Gugat UU Pemilu)