Pengamat Hukum Tata Negara Refly Harun menyarankan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan uji materi atas hak angket di Mahkamah Konstitusi. Usulan ini sebagai tanggapan atas bergulirnya panitia khusus (pansus) hak angket di DPR mengenai KPK terkait kasus dugaan korupsi Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP).
"Ada beberapa kekeliruan hukum dalam hak angket KPK, penyelesain seharusnya lewat menguji konstitusional hak angket di MK, apakah kewenangan hak angket ini tepat untuk KPK," kata Refly ketika dihubungi Katadata akhir pekan lalu. (Baca: Penyidik KPK Sebut 5 Nama Anggota DPR Pengancam Saksi Kasus e-KTP)
Refly mengatakan hak angket soal KPK dapat diajukan ke MK karena memiliki tiga kekeliruan yakni dalam hal subjek, objek dan prosedur hukum. Dalam hal subjek hukum, hak angket selama ini ditujukan kepada pemerintah, sehingga menjadi salah alamat ketika ditujukan kepada KPK. "Tidak tepat dalam hal subjek, seharusnya dalam hak angket yang dipersoalkan hubungan parlemen dengan pemerintahan atau eksekutif, seperti polisi, jaksa, menteri dam kementerian," kata dia.
Dalam Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) di bagian penjelasan disebutkan pemerintah itu yakni Presiden, Wakil Presiden, menteri, jaksa agung, Kapolri dan lembaga pemerintah non kementerian. "KPK lembaga independen yang bukan lembaga pemerintah, melainkan terkait lembaga kehakiman," kata Refly.
Dalam Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) di bagian penjelasan disebutkan pemerintah itu yakni Presiden, Wakil Presiden, menteri, jaksa agung, Kapolri dan lembaga pemerintah non kementerian. "KPK lembaga independen yang bukan lembaga pemerintah, melainkan terkait lembaga kehakiman," kata Refly.
Adapun dari segi objek, seharusnya hak angket menyelidiki pelaksanaan undang-undang atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. "Objek hak angket mengenai KPK tidak jelas, tak ada urgensi dan dampak hukum yang luas pada kasus pengakuan Miryam," kata dia. (Jadi Saksi di Pengadilan, Setya Bantah Mendalangi Korupsi Proyek e-KTP)
Refly menyebut prosedur usulan hak angket yang keliru karena saat anggota DPR masih ada yang tidak setuju atau belum mufakat, pimpinan rapat yakni Fahri Hamzah mengetuk palu. Seharusnya bila belum mufakat, peserta rapat mengadakan voting. "Ini prosedur persidangan yang cacat," kata Refly.
Hak angket KPK disahkan pada sidang paripurna pada April lalu dengan ditandatangani 25 dari 560 anggota dewan. Tujuan hak angket ini untuk meminta rekaman pemeriksaan politikus Partai Hanura Miryam S. Haryani yang dilakukan oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi e-KTP. Selanjutnya DPR mengesahkan pansus hak angket KPK pada akhir Mei lalu. Untuk sidang Senin, 19 Juni, pansus telah meminta KPK untuk menghadirkan Miryam.
KPK pekan lalu meminta pendapat dari berbagai pakar hukum dalam menyikapi 'serangan' hak angket di DPR. Pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji yang juga mantan pimpinan KPK mengatakan lembaga antikorupsi memiliki otoritas penuh untuk menolak membuka alat bukti kasus dugaan korupsi e-KTP dalam forum hak angket.
"Alat bukti baik langsung atau tidak langsung dari proses pro justitia adalah tertutup dan bersifat rahasia, karenanya tidak bisa dibuka dalam proses non-projustitia apalagi dalam forum politik," kata Indriyanto kepada Katada. KPK juga mendapat dukungan dari para praktisi dan pakar hukum tata negara yang bergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) yang dipimpin Mahfud MD.
Sementara itu, presiden Joko Widodo enggan menanggapi soal bergulirnya hak angket terhadap KPK. Alasannya, proses hak angket ini merupakan ranah lembaga legislatif. "Itu wilayahnya DPR," kata Jokowi pekan lalu. (Baca: Enggan Bahas Hak Angket, Jokowi: Jangan Ada Pikiran Lemahkan KPK)