Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi sektor energi mulai menyoroti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai pelanggaran lingkungan yang dilakukan PT Freeport Indonesia. Hasil audit BPK ini menjadi salah satu pokok pembahasan dalam rapat tertutup dengan sejumlah perusahaan tambang di Indonesia serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Selasa, (13/4).
Ketua Komisi VII DPR Gus Irawan Pasaribu mengatakan dalam rapat tersebut, DPR meminta penjelasan kepada Freeport mengenai pelanggaran yang dilakukannya, sehingga menyebabkan adanya potensi kerugian negara sebesar Rp 185 triliun. "Kami mendorong untuk semua temuan BPK itu diklarifikasi," kata dia di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (13/6).
(Baca: BPK: Potensi Kerugian Negara Akibat Tambang Freeport Rp 185 Triliun)
Namun ketika diklarifikasi di dalam rapat, menurut Gus Irawan, pihak Freeport mengaku tidak mengetahui adanya temuan itu. Untuk itu, Komisi VII DPR akan memanggil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk membahas lebih dalam temuan tersebut.
Selain KLHK, DPR juga akan memanggil kembali Freeport dan Kementerian ESDM untuk menyinkronkan temuan dari BPK ini dengan fakta yang ada di lapangan. Sinkronisasi tersebut akan dilakukan dalam rapat yang akan dilakukan Juli mendatang.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi VII Satya Widya Yudha mengatakan dalam rapat tersebut Freeport masih meminta waktu untuk mengklarifikasi temuan BPK tersebut kepada DPR. "Mereka akan klarifikasi," kata dia.
(Baca: Menteri LHK: Restu Gubernur Ganjal Freeport Raih Izin Pinjam Hutan)
Seperti diketahui, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi kerugian negara akibat operasional PT Freeport Indonesia di Papua sebesar Rp 185,58 triliun. Penyebabnya adalah sejumlah pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat itu.
Temuan ini dituangkan BPK dalam hasil pemeriksaaan dengan tujuan tertentu atas penerapan kontrak karya Freeport Indonesia tahun anggaran 2013 hingga 2015. Penyebab potensi kerugian negara paling besar adalah dampak pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuary, dan ada yang telah mencapai kawasan laut. Nilainya mencapai Rp 185 triliun.
Tidak hanya mengenai temuan BPK, DPR juga menyoroti perkembangan negosiasi pemerintah dengan Freeport. Salah satu yang menjadi sorotan terkait pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter).
Anggota komisi VII DPR dari Fraksi PAN, Toto Daryanto mengatakan hingga kini perkembangan pembangunan smelter Freeport belum kunjung signifikan. Padahal perusahaan asal Amerika Serikat itu berjanji akan membangun pabrik itu di Papua atau Gresik.
(Baca: ESDM Bahas Pelanggaran Lingkungan Freeport Usai Negosiasi Investasi)
Apabila Freeport tidak juga membangun smelter, seharusnya pemerintah mencabut izin ekspor konsentratnya kapan saja. "Jadi, menurut saya itu Freeport itu memang kurang memiliki kemauan untuk membangun smelter di Indonesia," ujar Toto.