Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil mengatakan, ada dua peraturan presiden (Perpres) terkait kebijakan reformasi agraria yang akan diterbitkan dalam satu atau dua bulan ini. Perpres yang dimaksud yaitu tentang pelepasaan kawasan hutan yang diduduki masyarakat dan mengenai distribusi lahan.
Kedua Perpres tersebut akan jadi landasan hukum untuk melakukan sertifikasi 9,1 juta hektare lahan di dalam kawasan hutan yang telah diduduki warga. “Perpresnya sedang dalam proses, mudah-mudahan dalam satu sampai dua bulan ini selesai. (lalu) Tinggal teken Presiden,” kata Sofyan di Jakarta, Kamis (9/3).
Lahan seluas 9,1 juta hektare tersebut sebetulnya terdaftar sebagai kawasan hutan. Namun, telah diduduki warga dan beralih fungsi menjadi perkebunan, pemukiman, dan wilayah transmigrasi. Nantinya, dengan Perpres baru, status lahan tersebut akan dikeluarkan dari kategori kawasan hutan menjadi lahan segar (fresh land) untuk rumah tangga perorangan.
“Secara de facto masyarakat sudah tinggal di sana. Tapi kawasan hutan mereka tidak dapat hak apa pun, itu yang nanti akan dikeluarkan sehingga nantinya masyarakat yang tidak punya tanah akan diakui tanahnya,” kata Sofyan. (Baca juga: Pemerintah Gandeng Bank Salurkan 1 Juta Sertifikat Lahan)
Ia menjelaskan, kebijakan tersebut harus melalui Perpres lantaran selama ini sertifikasi hanya bisa dilakukan untuk lahan bukan kawasan hutan. Adapun, lahan di Indonesia dibagi menjadi 70 persen kawasan hutan dan 30 persen bukan kawasan hutan.
Sejauh ini, Sofyan mengatakan, salah satu kendala kebijakan tersebut yaitu 2,7 juta hektare lahan perkebunan yang dikelola korporasi. Saat ini, pemerintah juga memikirkan cara menyelesaikan status lahan tersebut. Harapannya, lahan itu beserta pemukiman masyarakat lainnya di dalam hutan dapat disertifikasi dan diberikan pada masyarakat.
Selain menyelesaikan sertifikasi lahan, pemerintah tengah menggodok kebijakan lain terkait lahan yakni pengenaan pajak progresif untuk lahan menganggur. Tujuannya mendorong pemanfaatan lahan untuk kebutuhan produktif. Selain itu, membatasi ruang gerak para spekulan yang membuat harga tanah melambung tinggi.
(Baca juga: Pemerintah Khawatir Generasi Millenial Tak Bisa Beli Rumah)
Namun, menurut Sofyan, kebijakan tersebut masih membutuhkan kajian mendalam. “Kami studi dulu karena ini kan complicated, baru dibicarakan orang sudah takut. Kami lakukan studi secara komprehensif, saya ingin seperti pegadaian, menyelesaikan masalah tanpa masalah,” ujarnya.
Apalagi, pelaku industri properti juga diketahui memiliki ‘lahan menganggur’ berupa bank-bank tanah yang menunggu untuk digarap. “Kami harus pilah-pilah sedemikian rupa, sehingga ketika diperkenalkan uu (undang-undang) ini mampu mencegah spekulasi lahan tapi tidak mengganggu industri,” katanya.