Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akan memanggil maskapai Garuda Indonesia terkait kasus suap yang menyeret mantan Direktur Utamanya, Emirsyah Satar. “Kami ingin mendapat klarifikasi,” Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Mohammad Hekal di Gedung DPR, Senin, 23 Januari 2017.
Hekal menyayangkan adanya dugaan suap dari Rolls-Royce atas Emirsyah. Meski, ia mengakui kinerja Garuda Indonesia membaik saat maskapai pelat merah itu di bawah kepemimpinan Emirsyah.
Bagaimanapun, Hekal juga mengakui bahwa dirinya tak banyak mengerti soal kasus ini selain apa yang telah terungkap di media. Alasannya, kasus tersebut terjadi di era direksi sebelumnya dan juga di era jajaran anggota Komisi VI yang lalu. “Kami akan tetap mendorong penegak hukum mengusut tuntas kasus ini,” ujarnya
(Baca juga: Diduga Terima Suap Rp 20 Miliar, Emirsyah Dicekal ke Luar Negeri)
Sementara kasus Emirsyah berjalan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hekal juga mengatakan bahwa Komisi VI akan memperketat fungsi pengawasan. Aksi-aksi korporasi yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akan lebih diperketat agar kejadian serupa tak terulang.
Untuk itu, Komisi VI juga akan memanggil Garuda terkait kinerja perusahaan yang saat ini terus menurun. Hekal juga ingin mempertanyakan perihal pembelian sejumlah armada pesawat terbang Garuda. "Untuk Garuda kita akan panggil untuk penyelamatan keadaan keuangannya," ujar
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar (ESA) sebagai tersangka kasus suap terkait pembelian mesin pesawat Airbus A330 buatan Rolls-Royce.
Selain Emirsyah, KPK juga menetapkan status tersangka pada Soetikno Soedardjo. Soetikno yang merupakan Beneficial Owner Connaught International Pte. Ltd. Soetikno diduga menjadi perantara suap dari Rolls-Royce pada Emirsyah.
(Baca juga: Emirsyah Satar: Saya Tidak Korupsi atau Menerima Suap)
Suap untuk Emirsyah diduga diberikan dalam bentuk uang dan barang. “Dalam bentuk uang ESA menerima uang setara Rp 20 miliar, dalam mata uang Euro € 1,2 juta dan US$ 180 ribu. Adapun suap yang diterima ESA dalam bentuk barang tersebar di Singapura dan Indonesia dengan nilai US$ 2 juta.” Kata Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, Di Gedung KPK, Kamis (19/1) lalu.