Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas. Meski sudah ada payung hukumnya, aturan turunan pembentukan perusahaan induk (holding) BUMN per sektor, khususnya sektor minyak dan gas bumi (migas), masih menunggu persetujuan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius K. Ro mengatakan, pihaknya telah menyelesaikan revisi  terkait redaksional peraturan pembentukan holding migas yang berbentuk PP ini. Dengan begitu, aturannya disesuaikan dengan payung hukumnya, yakni PP 72/2016. Namun, PP holding migas ini nyatanya masih belum bisa diterbitkan karena tengah dikaji oleh Kementerian Keuangan.

(Baca: Payung Hukum Holding Terbit, Pemerintah Tetap Kontrol BUMN)

Aloysius pun mengakui, PP holding migas ini telah selesai disusun bersamaan dengan PP holding pertambangan, sebagai dua prioritas pembentukan perusahaan induk BUMN ini. "(PP) holding migas dan pertambangan sudah selesai harmonisasi. Sekarang sudah di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN)," ujar Aloysius kepada Katadata di Jakarta, Jumat (13/1).

Menurut dia, Kementerian BUMN tidak bisa menentukan target waktu aturan pembentukan holding migas tersebut rampung dan diterbitkan. Sebab, menunggu keputusan dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. Padahal, Aloysius mengklaim, secara prinsip sudah tidak ada permasalahan lagi, terutama terkait penggabungan antara PT Pertamina (Persero) yang akan menjadi induk usaha, bersama dengan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sebagai anak usahanya.

Sementara itu, Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro mengakui, pihaknya masih memfinalisasi pemetaan kerja sama operasional yang akan dilakukan oleh Pertamina dan PGN saat terbentuknya holding BUMN migas tersebut. Pertamina juga akan terus melakukan sosialisasi internal kepada seluruh pemangku kepentingan.

Secara umum, Wianda mengklaim, tidak ada kendala substansial lagi dalam pembentukan holding ini. "Kami garap maksimal secara simultan sambil menunggu PP soal holding ini sebagai dasar hukum," ujarnya. (Baca: Pemerintah Akan Tetap Kontrol Anak Usaha dalam Holding BUMN)

Seperti diketahui, pemerintah telah bersepakat untuk mengeluarkan PP Nomor 72 Tahun 2016 sebagai payung hukum pembentukan holding BUMN. Beberapa perubahan dari aturan lama yakni PP 44/2005, meliputi penyertaan modal negara (PMN) ke BUMN dan Perseroan Terbatas bersumber dari APBN, kapitalisasi cadangan, dan/atau sumber lainnya.

Sumber PMN yang berasal dari APBN ini meliputi kekayaan negara berupa dana segar, barang milik negara, piutang negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas, saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas, dan/atau aset negara lainnya. Kemudian, sumber PMN yang berasal dari sumber lainnya meliputi keuntungan revaluasi aset dan/atau agio saham.

PP 72/2016 ini pun menyisipkan satu pasal baru, yakni Pasal 2A. Pertama, PMN yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme APBN. 

(Baca: PGN Belum Putuskan Nasib Saka Pasca Holding Migas Terbentuk)

Kedua, dalam hal kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain sehingga sebagian besar saham dimiliki oleh BUMN lain. Lewat skema ini, BUMN tersebut menjadi anak perusahaan BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa yang diatur dalam anggaran dasar.

Ketiga, kekayaan negara yang dijadikan PMN pada BUMN atau Perseroan Terbatas bertransformasi menjadi saham atau modal negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas tersebut. Keempat, kekayaan negara yang bertransformasi itu menjadi kekayaan BUMN atau Perseroan Terbatas tersebut.

Kelima, kepemilikan atas saham atau modal negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas dicatat sebagai investasi jangka panjang sesuai dengan presentase kepemilikan pemerintah pada BUMN atau Perseroan Terbatas.

Keenam, sebagian besar saham anak perusahaan BUMN tersebut tetap dimiliki oleh BUMN lain itu. Ketujuh, anak perusahaan BUMN diperlakukan sama dengan BUMN untuk berbagai hal yang meliputi penugasan pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu seperti halnya BUMN.