Pemerintah akan segera mengajukan gugatan hukum atas kasus pencemaran minyak di perairan Laut Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Alasannya, PTT EP hingga kini belum bersedia bertanggung jawab sejak meledaknya sumur minyak Montara sebagai sumber pencemaran pada 2009 silam.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah akan terus mengejar pertanggungjawaban PTT EP sebagai kontraktor minyak dan gas bumi tersebut untuk memberikan ganti rugi kepada pemerintah. Salah satu yang akan dilakukan yakni mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

"Kami kejar terus. Kami sudah rapat, awal tahun ajukan gugatan," ujar Luhut saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Senin (9/12). (Baca: Luhut Desak Australia Selesaikan Pencemaran Minyak Montara)

Deputi I Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Arif Havas Oegroseno menjelaskan, gugatan ini terpaksa dilakukan karena tidak adanya itikad baik yang ditunjukkan oleh PTT EP untuk menyelesaikan kasus ini. Sekitar tahun 2013, pemerintah bersama pihak Australia dan Thailand pernah membentuk komisi independen untuk mencari solusi.

"Sudah disepakati penyelesaian interim. Memorandum of Understanding (MoU) sudah ada, tapi hari itu PTT EP tidak datang," ujar Havas.

Ia pun mencatat, sudah terjadi negosiasi sebanyak 13 kali sejak awal kasus tumpahan minyak tersebut melanda perairan Indonesia. Tapi, hingga kini belum ada penyelesaiannya.

Masyarakat NTT sebenarnya sudah menggugat PTT EP di Australia. Namun, karena pemerintah tidak bisa mengajukan gugatan atas nama rakyat, maka pemerintah bersepakat mengajukan gugatan atas nama negara dengan diwakili oleh Kejaksaan Agung dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Havas menjelaskan, desakan terhadap Pemerintah Australia melalui kedutaan besarnya di Indonesia dilakukan karena  telah membuat MoU di bidang pencegahan tumpahan minyak (oil spill). Pemerintah tidak menuntut Australia bertanggung jawab atau mengganti rugi atas kasus ini, tetapi meminta negara tersebut mendesak PTT EP.

Sebagai informasi, pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya sudah mengajukan nilai ganti rugi sebesar US$ 5 juta. Dana ini diwujudkan dalam bentuk program corporate social responsibility (CSR) kepada warga di pesisir Laut Timor yang mata pencahariannya terganggu akibat tumpahan minyak.

Namun, PTT EP sempat meminta diskon menjadi US$ 3 juta. Alhasil, sampai saat ini penyelesaiannya belum menemukan kejelasan. Luhut meminta agar hal tersebut ditanyakan kepada pihak berwenang di pemerintahan sebelumnya. (Baca: Kisruh Menko Maritim, Kop Surat dan Stempel Berbeda)

Berdasarkan hasil analisis dan evaluasi laboratorium Lemigas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terhadap sampel tarball dan sampel minyak Montara, disimpulkan adanya kesesuaian karakteristik minyak yang ditemukan di perairan Laut Timor dengan minyak yang berasal dari platformMontara di Australia.

Dikutip dari situs Kementerian ESDM, kebocoran minyak dari The Montara Well Head Platform di Blok West Atlas Laut Timor perairan Australia terjadi pada 21 Agustus 2009. Kebocoran pada mulut sumur mengakibatkan tumpahnya minyak dan gas hidrokarbon ke laut.

Pada 7 Oktober 2009, Otoritas Keselamatan Maritim Australia (AMSA) memberikan informasi kepada Kementerian Perhubungan Indonesia bahwa pencemaran minyak mentah sudah mencapai sekitar 51 mil laut dari Pulau Rote, NTT. Namun, pada 3 November 2009, kebocoran berhasil ditutup.

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2009 juga melansir, 29 hari setelah ledakan tersebut tumpahan minyak menyebar ke arah barat, berada sekitar 110 kilometer (km) pesisir Namodale, Rote Ndao dan 121 km Oetune, Kupang. Citra satelit Terra-MODIS pada 28 September 2009 mendeteksi tumpahan minyak kembali mendekati perairan Indonesia dengan jarak terdekat sekitar 47 km dari pesisir Rabe, Kupang dan 65 km dari Batuidu, Rute Ndao.

Selanjutnya, pada 5 Maret 2010, Kementerian Perhubungan yang merupakan Ketua Timnas Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut, melaporkan kepada Presiden kronologis kejadian dan langkah-langkah aksi yang sedang dan akan dilakukan.

Pada 27 Juli 2010, Tim Advokasi Indonesia melakukan pertemuan dengan PTTEP Australias Sea Operations selaku operator blok tersebut di Perth, Australia. Pertemuan itu terkait upaya pengajuan klaim ganti rugi. Namun, hingga kini, Pemerintah Indonesia belum juga menerima ganti rugi.