Pemerintah sedang menyusun regulasi mengenai tarif listrik dari pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT). Harapannya, aturan tersebut bisa mendongkrak pengembangan EBT tanpa tergantung subsidi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, tarif listrik dari pembangkit berbasis EBT di Indonesia masih mahal dibandingkan negara lain. Di Indonesia, harga jual EBT bisa mencapai US$ 10 sen per kwh. “Pengembangan EBT bisa mundur kalau harganya mahal,” katanya di Jakarta, Rabu (21/12).
(Baca: Pengusaha Desak Pemerintah Beri Insentif Energi Terbarukan)
Sementara itu, tarifnya di Uni Emirat Arab hanya US$ 2,29 sen per kwh untuk pembangkit berkapasitas 150 MW, dan US$ 2,40 sen per kwh untuk pembangkit tenaga surya berkapasitas 200 MW. Bahkan, di Amerika Serikat, harganya juga lebih rendah yakni US$ 2,5 sen per kwh.
Salah satu penyebab mahalnya harga EBT di Indonesia adalah pembangunan pembangkit listrik yang tidak sesuai dengan potensi di daerah. Dengan karakteristik negara kepulauan, Indonesia tidak bisa menganut sistem harga yang sama rata seluruh Indonesia. (Baca: DPR Minta Pemerintah Bentuk BUMN Khusus Panas Bumi)
Pembangunan pembangkit listrik berbasis EBT harus sesuai dengan potensi yang ada di daerah masing-masing. Jadi, biaya produksinya lebih efisien. "Misalnya pembangunan pembangkit berbasis gas tidak bisa dibangun di gunung, karena harus mengangkut LNG pakai pesawat dan berisiko besar," ujar Jonan.
Jika hal tersebut diterapkan, pengembangan EBT juga tidak perlu lagi tergantung subsidi, karena harga sudah murah. Apalagi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak merestui anggaran subsidi sebesar Rp 1,3 trilliun dalam APBN 2017.
Menurut Jonan, ada beberapa jenis sumber energi baru terbarukan yang tidak perlu lagi subsidi, yakni pembangkit tenaga surya, angin, air, biomassa, hingga panas bumi. "Feed in tarifnya akan ditinjau, saya akan minta harganya kompetitif termasuk panas bumi," kata dia.
Sedangkan untuk pengembangan biodiesel tetap mendapat subsidi dari pemerintah karena implementasinya sudah kompetitif. Bahkan untuk pengembangan biodiesel tahun depan tetap dengan formula B20. Alasannya, Jonan ingin melihat hasil dari penerapan B20 yang sudah berjalan dalam tahun ini, termasuk dampaknya ke mesin kendaraan.
(Baca: Serapan Biodiesel Capai 2,5 Juta KL, Tertinggi Sepanjang Sejarah)
Harga yang kompetitif ini pun bisa mendorong pengembangan EBT secara masif. Sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), porsi bauran energi pada tahun 2025 untuk EBT ditargetkan sebesar 23 persen dan meningkatkan 45 GW pembangkit listrik berbasis EBT pada tahun 2025.
Bauran Penggunaan Energi Nasional 2016
Sepanjang tahun 2016, kapasitas pembangkit EBT mencapai 15 persen dari keseluruhan kapasitas terpasang, atau sebesar 8,7 GW dari total 58 GW. Dalam 10 tahun ke depan, berdasarkan RUEN, Indonesia diproyeksikan membutuhkan kapasitas terpasang pembangkit hingga 135 GW. Dari jumlah itu, sebanyak 33 persen atau 45 GW dari pembangkit EBT.
Sedangkan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) hingga Desember ini adalah sebesar 1.643,5 MW. Targetnya pada tahun depan meningkat menjadi sebesar 1.858,5 MW.
Adapun, total kapasitas pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) mencapai 282,55 MW pada 2016. Tahun depan, total kapasitasnya meningkat menjadi 291,71 MW. (Baca: Tak Ada Subsidi, PLN Tolak Penetapan Tarif PLTMH dari Pemerintah)
Di sisi lain, kapasitas terpasang PLT Bioenergi pada 2015 adalah sebesar 1.767,1 MW dan meningkat tahun ini menjadi 1.787,9 MW. Kementerian ESDM menargetkan kapasitas total terpasang PLT Bioenergi tahun depan mencapai 2.093 MW atau bertambah 305,1 MW.
Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) tahun ini mencapai 3,3 juta KL. Jumlahnya meningkat 152 persen dari tahun lalu yang sebesar 0,91 juta kilo liter (KL). Sedangkan pada tahun depan, pemanfaatan BBN ditargetkan sebesar 4,6 juta KL.