Genoil, Jelantah yang Berdayakan Preman sekaligus Nelayan

Dok Pribadi
Andi Hilmy Mutawakkil (berbaju putih) beserta tim Genoil saat memenangkan Idea Fest di Jakarta, September 2016.
Penulis: Pingit Aria
18/12/2016, 10.00 WIB

Bersama lima rekannya, Andi Hilmy Mutawakkil mendirikan Genoil, perusahaan yang mengubah minyak jelantah menjadi biodiesel. Dengan modal pas-pasan, ide dan kepeduliannya bisa memberdayakan mantan preman hingga nelayan.

Kesuksesan pemuda asal Pangkep, Sulawesi Selatan berawal dari keprihatinannya saat berjalan-jalan di Pasar Pannampu, Makassar, dua tahun lalu. Pasar itu hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari bibir pantai, tapi ikan tak selalu tersedia di sana. “Waktu itu ada kelangkaan solar, jadi banyak nelayan tak bisa melaut,” kata Hilmy saat ditemui di Jakarta, Kamis (15/12) lalu.

Dua hal lain yang juga membuatnya prihatin saat itu adalah tukang gorengan yang menggunakan minyak bekas (jelantah) kehitaman untuk menggoreng dan banyaknya preman berkeliaran. “Padahal gorengan dengan minyak jelantah itu kan bahaya buat kesehatan,” katanya.

Baca juga: Perempuan Ini Dulang Ratusan Juta Rupiah dari Roti Bekatul)

Ia lalu ingat pada penelitian yang pernah dikerjakannya saat masih bersekolah di SMA Negeri 1 Bungoro bersama Ahmad Sahwawi (Wawi). Saat itu, keduanya mencoba membuat biodiesel dari bermacam bahan, termasuk minyak jelantah. “Saya kontak Wawi, saya jelaskan ide saya untuk membuat biodiesel dengan jelantah,”kata Hilmy.

Dari mesin kecil berkapasitas 30 liter yang dikerjakannya dengan Wawi, Hilmy ingin membangun “pabrik” biodiesel yang lebih besar. Dengan bahan baku dari minyak jelantah bekas tukang gorengan, biodiesel yang dihasilkannya bisa dijual ke para nelayan yang kesulitan membeli solar. Preman-preman pun bisa diberdayakan sebagai penghubung.

Wawi yang saat itu sudah kuliah di jurusan Teknik Mesin Universitas Hasanuddin pun menyambut ide Hilmy. Apalagi, ia kemudian berhasil mendapat uang penelitian sebesar Rp 20 juta dari kampus yang digunakannya sebagai modal awal.

Empat kawan mereka, yakni Achmad Fauzy Ashari, Rian Hadyan Hakim, Jonathan Akbar dan Fauzy Ihza Mahendra, pun kemudian bergabung. Habis-habisan mereka mengumpulkan modal. Motor, mobil, sampai tanah keluarga nekad digadaikan. "Cuma harga diri yang tidak digadaikan," kata Wawi tertawa.

Hasilnya, uang Rp 360 juta mereka gunakan untuk merakit mesin di garasi rumah milik keluarga Achmad Fauzy. Maka, CV Garuda Energi Nusantara (Genoil) pun berdiri. “Semua kami kerjakan sendiri, potong-sambung pipa, gerinda, mengecat, sampai jago semua,” ujar Achmad Fauzy.

Genoil (Dok Pribadi)

Tak perlu waktu lama, mesin berkapasitas 4.000 liter itu pun beroperasi, meski tak sampai penuh. Hampir setiap hari, para preman yang sudah jadi mantan itu mengirim 400-500 liter minyak jelantah ke Genoil. Mereka juga yang mengirim biodiesel yang dihasilkannya ke sekitar 300 nelayan di Paotere.

Semua mendapat jatah rezekinya masing-masing. Tukang-tukang gorengan menjual jelantahnya seharga Rp 1000-1500 per liter pada para mantan preman. Mereka akan mendapat untung karena Genoil membeli jelantah dari tangan mereka seharga Rp 2.000 per liter.

Genoil kemudian menjual biodiesel ke para nelayan seharga Rp 5.000 per liter, lebih murah ketimbang harga eceran Pertamina. Itu pun Genoil masih memberikan selisih Rp 500 per untuk pengecernya.

Kini, dengan produksi biodiesel lebih dari 1.000 liter per hari, omzet mereka mencapai Rp 170 juta per bulan. “Alhamdulillah, awal tahun ini semua barang yang sempat digadaikan sudah ditebus,”kata Achmad Fauzy. (Baca juga: Deretan Usaha Kecil yang Inovatif dan Berdaya Saing)

Keberhasilan mereka pun telah mendapat pengakuan. Genoil menjuarai Ideas for Indonesia (Idea Fest) 2016, di Jakarta, 23-24 September lalu. Acara tahunan ini merupakan kompetisi bagi para pelaku usaha sosial ekonomi yang memberi dampak positif kepada masyarakat.

Hilmy dan rekannya mampu menyisihkan lebih dari lima ratus peserta dari seluruh Indonesia. Mereka pun dinobatkan sebagai juara dan berhak atas hadiah uang Rp 100 juta rupiah serta study trip ke Inggris. “Tapi saya tak ingin berhenti di sini,” kata mahasiswa jurusan antropologi Universitas Negeri Makassar ini.

Ia memang masih punya rencana lebih besar untuk Genoil. Potensi bahan bakunya sangat besar jika memperhitungkan 17.600 minyak jelantah dari industri kuliner di Makassar. Pun nelayan yang membutuhkannya tersebar di seluruh garis pantai Sulawesi. “Saya ingin membantu lebih banyak orang,”kata Hilmy.