Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali memasang target baru penandatanganan kontrak Blok East Natuna. Kontrak pengelolaan blok minyak dan gas bumi di Laut Natuna ini diharapkan bisa terlaksana awal tahun depan.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, penandatanganan kontrak Blok East Natuna semula ditargetkan bisa terlaksana 14 November lalu. Namun, karena pembahasan syarat dan ketentuan dalam kontrak belum disepakati maka prosesnya menjadi mundur. (Baca: Pembahasan Kontrak Blok East Natuna Alot)

"Kami bikin target baru lagi, Insya Allah awal tahun 2017," kata Arcandra di forum bisnis bertema "Pengembangan Migas di Kawasan East Natuna untuk Kedaulatan Energi dan Bangsa" di Jakarta, Selasa (6/12). Salah satu poin yang belum disepakati adalah bagi hasil antara negara dan kontraktor pengelola Blok East Natuna. 

Di sisi lain, menurut dia, pengembangan Blok East Natuna tidak bisa bergantung pada teknologi lama. Alasannya, hal itu membuat biaya investasi pengembangan menjadi mahal dan memberatkan keekonomian proyek. Apalagi, dengan harga minyak masih rendah dan banyak mengandung karbon dioksida (H2o).

Permasalahannya, perlu insentif dari pemerintah untuk memakai teknologi yang mutakhir. Insentif yang ditawarkan antara lain, insentif fiskal dan pemberian skema bagi hasil menggunakan skema gross split.

Dengan skema tersebut, pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya kepada konsorsium kontraktor untuk memilih teknologinya sendiri dalam mengembangkan Blok East Natuna. Harapannya, konsorsium lebih cepat melakukan proses bisnis untuk mengembangkan blok kaya gas tersebut. (Baca: Pengembangan Blok East Natuna Hadapi Tiga Tantangan)

Saat ini, menurut Arcandra, yang menjadi kendala untuk memasukkan teknologi baru adalah proses di SKK Migas yang membutuhkan waktu lima tahun. Ia membandingkan dengan negarab lain, seperti Peru, yang hanya membutuhkan waktu 22 bulan.

Senior Vice President Upstream Business Development Pertamina Denie. S Tampubolon mengatakan, salah satu kendala yang dihadapi konsorsium adalah lokasi untuk mengelola hidrokarbon yang ikut terproduksi ketika proses eksploitasi migas di East Natuna. Dengan potensi CO2 sebesar 3 bscfd, maka proses tersebut membutuhkan tenaga yang besar. "Apakah ini harus disimpan atau diinjeksi lagi ke dalam," kata dia.

Ada juga masalah pembeli gas di Blok East Natuna. Dengan volume produksi sekitar 1 bscfd, tidak mudah seluruhnya diserap pasar. Alhasil, butuh kajian yang lebih mendalam.

Pertamina menargetkan pembahasan kajian pasar dan teknologi (Technology and Market Review/TMR) bisa selesai pertengahan 2017. Pembahasan tersebut meliputi teknologi fasilitas gas di East Natuna, pengeloaan CO2, infrastruktur gas di East Natuna, pembeli gas, dan konsep pengembangan gasnya. Hasil kajian ini menjadi pertimbangan untuk mengusulkan insentif fiskal konsorsium East Natuna kepada pemerintah. 

Di tempat yang sama Anggota Komisi Energi DPR Satya Widya Yudha menyayangkan proses pengembangan East Natuna yang berjalan lambat. "Harga minyak tinggi kita diskusi tentang Natuna, ketika harga minyak rendah juga tentang itu. Tapi kita tidak bertindak," kata dia. 

Agar ekonomis, Satya mengusulkan pengelolaan Blok East Natuna menerapkan skema sliding scale. Tujuannya agar pemerintah dan kontraktor saling mendukung untuk pembagian hasil. Ketika harga minyak rendah maka bagian kontraktor lebih besar, begitu juga sebaliknya. (Baca: Konsorsium East Natuna Minta Bagi Hasil Mengacu Harga Minyak)

Sementara itu, Dewan Pakar Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Benny Lubiantara mengingatkan agar pengelolaan Blok East Natuna tidak bernasib sama seperti pengembangan migas di blok-blok potensial lainnya, seperti di Blok Masela. Apalagi, kebutuhan gas di dalam negeri akan terus meningkat sehingga membutuhkan pengembangan lapangan migas secara masif.