Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) akan menggelar pertemuan di Wina, Austria, pada Rabu (30/11) mendatang. Pertemuan itu diharapkan bisa membuahkan kesepakatan terkait kuota pasokan untuk membangkitkan harga minyak dunia. Namun, kebijakan yang ditempuh OPEC selama ini malah menuai kritik.

Mantan Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ali Al-Naimi, menilai kebijakan-kebijakan OPEC belakangan ini telah salah arah. Sebab, langkah OPEC untuk mendongkrak harga minyak malah menggiring ke arah penurunan pangsa pasar. Al-Naimi mengatakan, yang perlu dilakukan organisasi tersebut hanyalah membiarkan kapitalisme bekerja dengan sendirinya.

“Ini sebenarnya hal yang sederhana, yaitu membiarkan pasar bekerja dengan sendirinya,” ujar Al-Naimi seperti dilansir Bloomberg, Minggu (27/11). (Baca: Permintaan Meningkat, Harga Minyak Indonesia Naik 8,1 Persen)

Selama dua tahun terakhir, OPEC telah berupaya menekan produksi minyak mentah yang membanjiri pasar dunia. Namun, jika ingin menyelamatkan perusahaan minyak dunia yang sudah tertatih-tatih, OPEC harus mengambil kebijakan yang sebaliknya.

Premier Oil, perusahaan tercatat di bursa London dengan produksi 60 ribu barel per hari, mengharapkan pemulihan harga minyak setidaknya US$ 50 per barel pada tahun depan. Sepanjang tahun ini, harga minyak jenis Brent hanya satu kali mencapai level harga tersebut. Meski demikian, perusahaan yang sedang kesulitan ini tetap bisa bertahan di tengah terpaan harga minyak rendah. Artinya, Premier Oil sudah beradaptasi dengan cukup baik sejak harga minyak terpuruk pada 2015. 

Para produsen di industri minyak dan gas bumi dunia, mulai dari pelosok Amerika hingga Siberia, berharap agar OPEC dapat memancing munculnya kenaikan harga minyak. Dengan begitu, perusahaan bisa mengalokasikan dana yang cukup untuk meningkatkan pengeboran. Tanpa adanya kesepakatan tersebut, harga minyak yang kini berada di titik US$ 47 per barel bisa melorot hingga menyentuh US$ 30 pada Januari mendatang.

Namun, para analis menyatakan, baik OPEC maupun Rusia sebagai negara non-anggota OPEC, malah memperkuat posisi mereka untuk mempertahankan pangsa pasar. Organisasi pengekspor minyak tersebut membidik rentang harga antara US$ 50 hingga US$ 60. Kisaran tersebut dianggap cukup tinggi untuk para produsen.

“Namun, harga itu belum cukup tinggi untuk mendorong adanya produksi baru dari sumber-sumber minyak serpih Amerika Serikat,” kata pengamat OPEC, Walid Khadduri di Arab Gulf States Institute, Washington.  (Baca: Harga Minyak Bisa Turun Jangka Pendek Akibat Efek Trump)

Pada November 2014, OPEC mengadopsi kebijakan pump-at-will, yang akhirnya membawa pada kejatuhan harga minyak. Negara-negara anggota OPEC, yang berkontribusi terhadap 40 persen produksi minyak mentah dunia, memutuskan memberlakukan harga rendah untuk memenangkan pangsa pasar, dengan bersaing menghadapi produsen minyak serpih Amerika Serikat.

Tapi, akibatnya harga minyak terus melorot. Harga minyak anjlok dari US$ 110 menjadi US$ 30 per barel tahun ini. Harga terendah selama 10 tahun terakhir itu memaksa para produsen memangkas pengeluaran dan merumahkan para pekerjanya. Sebanyak 14 negara anggota OPEC juga mulai berjuang menekan belanja. Mereka semua mencari cara untuk kembali mendongkrak harga, dengan menahan pasokan.

“Jika harga melambung hingga di atas US$ 60 per barel, kita akan melihat adanya produksi signifikan nantinya,” ujar Direktur Eksekutif International Energy Agency (IEA), Fatih Birol, dalam sebuah wawancara khusus bulan ini.

Lembaga energi internasional tersebut dibentuk setelah negara-negara Arab menerapkan embargo minyak pada 1970-an. Pembentukan lembaga tersebut diharapkan mampu menggiring minyak dunia ke koridor harga OPEC.

Apabila target harga tercapai, maka OPEC mampu memberi nafas baru bagi perusahaan-perusahaan dan para produsen independen dan menyelamatkan mereka dari kebangkrutan akibat rendahnya harga.

Menteri Perminyakan Saudi Arabia yang baru, Khalid Al-Falih, sedang berupaya melakukan pemangkasan produksi untuk memulihkan harga, tanpa menimbulkan dorongan bagi pesaingnya untuk meningkatkan produksi. Selama dua tahun belakangan, Exxon Mobil Corp., Royal Dutch Shel Plc dan perusahaan raksasa lainnya sibuk melakukan pemangkasan biaya dan proyek jangka panjang.

(Baca: Pemasukan OPEC Terendah dalam 10 Tahun)

Perusahaan pengeboran minyak serpih Amerika Serikat telah menuai manfaat dari upaya OPEC menaikkan harga minyak. Setelah OPEC  menyatakan rencananya untuk membatasi produksi pada akhir September lalu di Aljazair, harga minyak mentah naik hingga mencapai harga tertinggi selama setahun terakhir, yaituUS$ 55 per barel.