Pemerintah akan membentuk tim kecil yang terdiri dari lima kementerian untuk membahas untung-rugi kebijakan pelonggaran ekspor mineral. Selanjutnya, pemerintah bakal menyusun Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang mineral dan batu bara (minerba).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan, tim kecil ini nantinya akan memfinalisasi penyusunan peraturan baru tersebut. Namun, dia enggan menjelaskan poin-poin yang tengah dibahas oleh pemerintah. Yang jelas, tim kecil tersebut diberikan waktu satu minggu untuk menyelesaikan kajiannya.
"Timnya terdiri dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Kementerian ESDM, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian," ujar Jonan usai rapat di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (25/11).
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian I Gusti Putu Suryawirawan menjelaskan, pada dasarnya pemerintah menginginkan sumber-sumber mineral ini dapat memiliki manfaat yang sebesar-besarnya. Salah satu caranya adalah melakukan hilirisasi produk pertambangan.
(Baca: Bangun Smelter Akhir 2017, Medco Berharap Newmont Masih Bisa Ekspor)
Dari kacamata Kementerian Perindustrian, Putu menjelaskan, pelarangan ekspor konsentrat ini justru telah memberikan nilai tambah. Nilai tambah berupa mendorong berbagai perusahaan membangun pusat pemurnian dan pengolahan mineral (smelter) untuk menghasilkan produk-produk turunan dari konsentrat tersebut.
Ia menilai, wacana pelonggaran ekspor mineral, utamanya nikel dan bauksit, dapat berbahaya bagi investasi smelter di Indonesia. Hal ini akan menyebabkan tidak ada lagi pihak yang mau melakukan hilirisasi. "Kami berikan alasan-alasan, mengapa ini posisinya seperti sekarang. Jangan diberikan ekspor bagi beberapa hal itu, sehingga ada keputusan," ujar Putu.
Menurut dia, produk nikel di Indonesia baru mencapai tahap pertengahan dalam proses hilirisasi. Padahal, nikel dapat dijadikan bahan baku untuk pembuatan stainless steel. Alhasil, selama ini Indonesia masih mengimpor stainless steel. Padahal, investasi untuk hilirisasi ini telah mencapai US$ 12 miliar.
Kementerian Perindustrian juga beranggapan ekspor bauksit harus tetap ditutup. Alasannya, produk mentah pertambangan ini dapat menjadi bahan baku alumunium, yang selama ini juga masih impor.
Putu menjelaskan, sudah banyak investor yang menyatakan komitmennya dan bahkan sudah merealisasikan komitmennya untuk membangun smelter. Namun, adanya isu pelonggaran ekspor membuat mereka menunda investasinya. "Justru dengan adanya isu ini semuanya berhenti. Ini berbahaya," ujarnya.
Di sisi lain, Putu mengakui, pemerintah belum memiliki data yang valid mengenai pengoperasian smelter selama ini. Ada beberapa pihak yang mengatakan smelter ini sudah beroperasi, sehingga proses hilirisasi telah berjalan. Namun, ada juga pihak yang mengatakan sebaliknya. Untuk itu, tim kecil ini akan menyamakan data dan persepsi untuk mengambil keputusan.
(Baca: Relaksasi Pertambangan, Pemerintah Hanya Buka Ekspor Bijih Tembaga)
Poin pembahasan yang lebih maju adalah pemerintah akan memberikan insentif untuk perusahaan-perusahaan yang berkomitmen membangun smelter dan melakukan hilirisasi. Insentif ini berupa izin melakukan ekspor konsentrat terhadap sebagian hasil produk pertambangannya. Dengan begitu, industri pemurnian dapat berkembang, dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Putu menambahkan, pemerintah akan memutuskan kebijakan ini secara lebih terperinci, berdasarkan kasus per kasus. Contohnya, komoditas tembaga. Saat ini, ada satu perusahaan tambang besar yang sudah berkontribusi besar dengan menyediakan banyak lapangan pekerjaan sehingga perlu mempertimbangkan pelonggaran ekspor hasil tambangnya. "Jadi akan kita lihat case by case."