Pelaku industri di Indonesia terus mendesak pemerintah menurunkan harga gas bumi untuk industri. Padahal, dibandingkan beberapa negara maju, ternyata harga gas sampai ke pembeli akhir di Indonesia masih lebih rendah.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja, memaparkan, rata-rata harga gas pipa dari mulut sumur ke pembeli akhir di Indonesia mencapai US$ 8,3 per mmbtu. Harga tersebut lebih rendah dibandingkan beberapa negara lain, bahkan negara maju seperti Singapura, Korea Selatan, Jepang, dan Cina
Sebagai gambaran, berdasarkan data dari Morgan Stanley tahun 2016, harga gas yang diperoleh konsumen di Cina bisa mencapai US$ 15 per mmbtu. “Cina lebih tinggi karena banyak impor,” kata Wiratmaja saat berdiskusi dengan para wartawan di Jakarta, Senin (24/10). (Baca: Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas)
Dibandingkan Korea, harga gas bumi di Indonesia juga lebih murah. Dari data Global Note Database, harga gas bumi untuk industri di Korea pada tahun lalu mencapai US$ 13,66 per mmbtu. Harga itu belum menghitung adanya pajak.
Sedangkan harga gas di Jepang mencapai US$ 22,48 per mmbtu, belum termasuk pajak. Di Singapura, berdasarkan catatan singaporepower.com.sg, harga gas untuk industri dari 1 Agustus hingga 31 Oktober 2016 mencapai US$ 15,96 per mmbtu.
Tapi, harga gas pipa untuk industri di Indonesia memang lebih mahal dibandingkan Malaysia yang mencapai US$ 6,6 per mmbtu sampai pengguna akhir, dan Thailand sebesar US$ 7,5 per mmbtu. Menurut Wiratmaja, harga di Malaysia lebih murah karena disubsidi oleh pemerintah.
Sementara di Thailand mekanisme juga berbeda dengan Indonesia. Harga gas buminya juga mengacu pada harga minyak dunia sehingga ketika harga minyak turun seperti saat ini, harga gas juga turun. Adapun, di Indonesia masih menggunakan skema harga tetap tidak mengikuti harga minyak.
(Baca: Harga Gas di Malaysia Lebih Murah karena Subsidi Pemerintah)
Jadi ketika harga minyak dunia tinggi, harga gas masih lebih rendah, begitu juga sebaliknya. “Sehingga ada anomali. Kami menggunakan fix price jadi gas alam cair (LNG) lebih murah dari gas pipa,” ujar dia.
Berdasarkan Waterborne Energy Inc., Wiratmaja mengatakan, rata-rata harga LNG Indonesia di pasar spot internasional per Juni lalu mencapai US$ 4,22 per mmbtu. Perinciannya untuk harga Nusantara Regas US$ 4,16 (landed price), Arun Regas US$ 4,09 (landed price), FSRU Lampung US$ 3,93 (landed price), dan Benoa US$ 4,71 (FOB).
Mengacu data tersebut, harga LNG Indonesia dibandingkan beberapa negara di Asia seperti India, Cina, Korea, Jepang dan Thailand masih lebih murah. Tapi, dibandingkan Malaysia, harganya memang lebih mahal.
Mengacu data tersebut, ada beberapa cara untuk menurunkan harga gas. Salah satunya adalah efisiensi di sektor hulu seperti biaya cost recovery. Tapi, untuk proyek yang sudah berjalan, pemerintah tidak bisa menurunkan belanja modal (capex), hanya bisa biaya operasionalnya (opex).
Selain itu, ada opsi mengurangi Pajak Penghasilan Migas dan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Namun, opsi ini harus terlebih dulu didiskusikan dengan Menteri Keuangan. (Baca: Harga Gas Jadi US$ 3,82, Penerimaan Negara Tergerus)
Selain hulu, pemerintah akan mengefisienkan transmisi mulai dari formula dan depresiasinya. Ada juga pengaturan margin, kemudian penertiban distribusi adanya trader berlapis. “Permintaan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu awal Januari 2017 harus tertib,” kata Wiratmaja.