Pemerintah sedang memfinalisasi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010. Aturan ini berisi tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi (migas) atau yang biasa disebut cost recovery.
Dalam bahan paparan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan kepada wartawan, ada tiga poin penting dalam revisi aturan tersebut, yaitu terkait skema bagi hasil, insentif fiskal, dan insentif nonfiskal. “Status draf akhir sedang dalam proses paraf di Kemenko Perekonomian,” kata Luhut, Selasa, 18 Oktober 2016. (Baca: Arcandra Janjikan Potong Cost Recovery Blok East Natuna).
Mengenai skema bagi hasil, dalam draf akhir tersebut tercantum penggunaan komposisi pembagian yang dinamis. Saat harga minyak tinggi, pemerintah bisa mendapatkan porsi yang lebih tinggi, begitu juga sebaliknya. Sebelumnya, skema bagi hasil untuk industri hulu migas bersifat tetap, yakni 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas.
Untuk insentif fiskal, nantinya tidak ada pajak pada periode eksplorasi. Insentif serupa dapat diberikan untuk periode eksploitasi dengan mempertimbangkan keekonomian proyek. Sedangkan dalam hal insentif nonfiskal, Menteri Energi berwenang untuk memutuskannya, seperti investment credit dan DMO holiday atau pembebasan kewajiban alokasi migas untuk dalam negeri.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Teguh Pamudji mengatakan, meski ada beberapa perubahan, pemerintah tetap menghormati kontrak yang sudah ada. Terlebih lagi untuk kontrak yang menerapkan prinsip assume and discharge. (Baca: Revisi Aturan Cost Recovery Hanya untuk Kontrak Baru Migas).
Menurut Teguh, beberapa kontrak yang tetap menerapkan assume and discharge adalah kontrak sebelum Undang-Undang Migas Nomor 22 Ttahun 2001 yang jumlahnya ada 130 kontrak. Adapun yang kontrak yang diteken setelah Undang-Undang Migas sebanyak 170 proyek. “Kebetulan kontrak sebelum 2009 ada yang besar, ada Pertamina,” kata dia.
Tapi untuk kontrak-kontrak baru setelah revisi PP 79/2010, dengan pemberian insentif diharapkan dapat meningkatkan keekonomian proyek. "Keekonomiannya hampir sama seperti assume and discharge," kata dia.
Di sisi lain, Teguh juga mengatakan dalam revisi PP 79/2010 tidak semuanya mengakomodasi permintaan pelaku migas. Menurut dia, pembebasan pajak-pajak tambahan seperti retribusi daerah tidak terakomodasi dalam aturan tersebut. (Baca: Beberapa Poin Revisi Cost Recovery Dinilai Tak Menarik Investor).
Menurut Teguh, sebetulnya retribusi daerah dikhawatirkan oleh para pelaku industri migas. "Mereka juga khawatir di tengah jalan pemerintah memberlakukan kebijakan yang harus di-enforce. Sehingga hitungannya takut berubah," ujar dia.