Pemerintah kemungkinan membatalkan rencana ekspor mineral mentah untuk komoditas bijih nikel dan bauksit. Padahal, rencana ekspor ini semula akan dimasukkan dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2014 tentang Pelasanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pelaksana tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan menepis anggapan bahwa pembatalan rencana tersebut karena tekanan dari pengusaha. Menurut dia, keputusan itu berdasarkan hasil kajian tim. “Saya tidak hidup di bawah tekanan. Saya hidup di bawah realistis yang menguntungkan negara dan yang menguntungkan investasi,” katanya di Kementerian ESDM, Rabu (12/10).
(Baca: Luhut Usulkan Pelonggaran Ekspor Mineral Mentah di RUU Minerba)
Sebelum memutuskan membuka keran ekspor, Luhut bersama tim mengaku sudah mengkaji masing-masing komoditas tambang tersebut. Dari hasil kajian itu diketahui Indonesia ternyata mengontrol hampir lebih 50 persen pasar nikel di dunia.
Apalagi, investasi smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian nikel di Indonesia saat ini sudah mencapai Rp 5 miliar. Pabrik pengolahan itu dibangun oleh 22 perusahaan, dengan kategori besar dan kecil.
Dari proses tersebut, sudah menghasilkan beberapa produk turunan, seperti stainless steel atau baja tahan karat dan alat elektronik yang sudah diekspor. Bahkan, Cina yang awalnya mengimpor nikel, kini sudah membangun pabrik stainless steel di Indonesia.
Melihat kemajuan industri pengolahan di dalam negeri itu, Luhut memutuskan tidak akan membuka keran impor bijih nikel. Alasan yang sama juga berlaku untuk bijih bauksit. “Hampir pasti kami tidak akan memberikan relaksasi untuk nikel dan bauksit,” katanya. (Baca: Pelonggaran Ekspor Mineral, Kadin Minta Pemerintah Lebih Adil)
Namun, Luhut mengaku, rencana itu masih membutuhkan waktu untuk melakukan kajian lebih mendalam. Keputusan finalnya diperkirakan dalam satu pekan ke depan.
Tak cuma itu, pemerintah juga tetap akan menutup keran ekspor mineral tanah jarang. Alasannya, komoditas tersebut sangat langka dan terlalu berharga. Jadi, pemerintah akan mengelola komoditas tersebut sambil menyiapkan teknologinya.
Selain kemungkinan membatalkan rencana ekspor komoditas tersebut, pemerintah tetap menerapkan bea keluar yang progresif untuk komoditas yang bisa diekspor sesuai dengan kemajuan pembangunan smelter. Artinya, kalau tidak ada perkembangan pembangunan smelter maka bea keluar yang ditanggung perusahaan akan semakin tinggi. “Kalau kau tidak penuhi, kau mati sendiri," kata Luhut.
Bea keluar ini sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 153/PMK.011/2014 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. Ada beberapa kriteria dalam aturan tersebut. (Baca: Pemerintah Baru akan Hitung Kebutuhan Smelter di Dalam Negeri)
Apabila kemajuan pembangunan atau serapan dana investasi smelter untuk komoditas mineral antara 0 hingga 7,5 persen maka bea keluar yang dibayarkan untuk ekspor konsentrat sebesar 7,5 persen. Sedangkan jika realisasi perkembangan smelter antara 7,5 persen sampai 30 persen, bea keluarnya 5 persen. Tapi kalau pembangunan smelter lebih dari 30 persen, tidak dikenakan bea keluar.