Harga Gas di Malaysia Lebih Murah karena Subsidi Pemerintah

Arief Kamaludin|KATADATA
11/10/2016, 15.57 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan harga gas bumi untuk industri lebih rendah sehingga dapat setara dengan negara-negara lain, seperti Malaysia. Dengan begitu, industri di dalam negeri bisa berkembang dan lebih berdaya saing. Namun, ternyata harga gas di negara jiran itu bisa murah karena adanya subsidi dari pemerintah.

Fakta tersebut diungkapkan oleh Presiden Petronas Carigali Muriah Ltd, Mohamad Zaini. Ia mengatakan, harga gas di Malaysia sampai ke pembeli akhir bisa sekitar US$ 4 per mmbtu. Namun, harga tersebut didukung oleh subsidi pemerintah.

Sedangkan jika tanpa subsidi maka harganya bisa lebih tinggi, yaitu mencapai sekitar US$ 8 per mmbtu. “Tergantung lapangan yang ada,” kata dia saat berdiskusi dengan wartawan, di Jakarta, Senin (10/10). (Baca: Berpacu Mengurai Ruwetnya Masalah Harga Gas)

Zaini mengatakan, bisnis gas di Indonesia dan Malaysia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, termasuk dalam hal penyediaan pipa. Pipa gas di Malaysia juga dibangun oleh pihak swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pemerintah.

Sebelumnya, dalam rapat terbatas kabinet mengenai harga gas untuk industri di kompleks Istana Jakarta, Selasa (4/10) pekan lalu, Presiden kembali menyoroti tingginya harga gas di dalam negeri sehingga mengganggu perekonomian. Rata-rata harga gas bumi di Indonesia mencapai US$ 9,5 per juta British Thermal Unit (mmbtu). Bahkan, ada yang harganya US$ 11-12 per mmbtu.

Jokowi pun membandingkan dengan beberapa negara jiran, seperti Vietnam yang hanya US$ 7 per mmbtu, Malaysia US$ 4 per mmbtu, dan Singapura US$ 4 per mmbtu. Padahal, Indonesia mempunyai potensi cadangan gas bumi yang sangat banyak. Sebaliknya, Vietnam, Malaysia, Singapura tergolong negara pengimpor gas bumi.

Jokowi pun mematok target harga gas berkisar US$ 5-6 per mmbtu pada akhir November nanti. “Syukur-syukur di bawah itu,” katanya. (Baca: Jokowi Perintahkan Harga Gas Industri US$ 5 Mulai Akhir November)

Namun, menurut Pelaksana tugas (Plt) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Luhut Binsar Pandjaitan, harga gas di luar negeri US$ 4 hingga US$ 4,5 per mmbtu baru dihitung di mulut sumur. “Kalau mereka impor itu belum masuk ke regasifikasi LNG, jadi harganya masih di atas itu. Jangan salah mengerti harga gas itu di negara lain, saya juga salah,” kata dia, Senin (10/10) lalu.

Ia pun mengakui, untuk menurunkan harga gas ini tidak semudah membalik telapak tangan. Meski begitu, Luhut tetap mengupayakan dalam dua bulan ini sudah bisa ditentukan lapangan mana saja yang bisa diturunkan harga gasnya dan besaran penurunannya.

Ada dua kategori untuk menurunkan harga gas. Pertama, tingkat kesulitan lapangan. Kedua, jenis industrinya. “Kalau pupuk itu kan subsidinya pasti banyak, karena itu pertanian kita butuh. Nanti kami lihat item per item, tidak bisa kita generalisir,” ujar dia.

Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah mengatakan, salah satu cara tercepat untuk menurunkan harga gas adalah mengizinkan industri mengimpor gas. “Pemerintah seharusnya mulai berpikir kalau impor itu bukan sesuatu yang diharamkan,” kata dia, Minggu (9/10).

Sammy menganggap langkah itu lebih baik daripada harus memaksakan lapangan dikembangkan dengan kondisi pasar yang harganya masih rendah. Apalagi, gas yang ada di bumi tidak akan hilang dan bisa diproduksi ke depan. (Baca: Pemerintah Upayakan Tekan Harga Gas di Hulu Hingga US$ 2)

Tapi, menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM I.G.N. Wiratmaja Puja, impor tersebut tidak akan banyak mengurangi harga gas. Harga impor mungkin lebih murah, tapi ketika sampai ke dalam negeri bisa saja sama karena ada biaya regasifikasi dan distribusi.

“Harga gas LNG itu berlaku internasional. Mau beli dari manapun  harganya tidak akan jauh beda,” ujar dia.