Masih rendahnya harga minyak mentah dunia –di bawah US$ 50 per barel- membuat keuangan sejumlah negara produsen “emas hitam” itu terpukul. Penerimaan turun drastis hingga defisit anggaran membengkak. Hal ini pun melanda Negeri Petrodolar Arab Saudi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, awal pekan ini Arab Saudi memutuskan untuk memangkas gaji para pejabat negara. Sebuah dekrit kerajaan dikeluarkan. Isinya, gaji menteri akan dipangkas hingga 20 persen.
Tak hanya itu, “Tunjangan perumahan dan mobil bagi anggota Dewan Pertimbangan Syura juga dipotong 15 persen,” demikian informasi yang dilansir BBC, kemarin. (Baca: Defisit Rp 1.372 Triliun, Arab Saudi Naikkan Harga BBM).
Upaya ikat pinggang yang pertama kali untuk mengekang pengeluaran pada saat harga minyak rendah ini bahkan diterapkan kepada pegawai negeri sipil (PNS) berpangkat rendah. Hanya, bagi golongan ini, bentuknya berupa penangguhan kenaikan upah serta penyunatan pembayaran lembur dan cuti tahunan.
Di sini, bonus lembur pegawai pemerintahan dibatasi 25 sampai 50 persen dari gaji pokok dan cuti tahunan tidak lagi lebih dari 30 hari. Pengecualian diberikan untuk prajurit yang terlibat dalam operasi militer di perbatasan selatan dan di luar negeri.
“Kabinet telah memutuskan untuk menghentikan dan membatalkan beberapa bonus dan manfaat finansial lainnya,” demikian pernyataan Kerajaan Arab Saudi yang dilansir CNBC, kemarin. (Baca juga: Saudi Krisis Anggaran, Pemerintah Harap Investasi Kilang Berlanjut).
Kerajan menilai kebijakan tersebut akan berdampak besar. Sebab, sekitar dua pertiga penduduk Arab bekerja di sektor publik. Gaji dan tunjangan mereka memakan 45 persen dari belanja pemerintah pada 2015, yaitu mencapai US$ 128 miliar atau setara Rp 1.655 triliun.
Jumlah tersebut menyumbang besar atas defisit anggaran tahun lalu yang kemudian menjadi rekor tertinggi senilai US$ 98 miliar atau sekitar Rp 1.267 triliun. Untuk mempersempit bolong ini, akhir Desember 2015, Kerajaan Saudi menaikkan harga bahan bakar hingga 50 persen. Walau terlihat tinggi, kenaikan tersebut hanya menjadi 0,9 rial atau sekitar US$ 24 sen per liter. Harga ini setara Rp 3.360 per liter untuk bensin beroktan 95 -Pertamax Plus di Indonesia.
Sebagai negara yang sangat mengandalkan pendapatan dari ladang minyak, kejatuhan minyak sejak akhir 2014 benar-benar menekan pemasukan negara. Beban anggaran Pemerintah Saudi makin berat dengan subsidi energi yang begitu besar. (Baca juga: Diumumkan Hari Ini, Harga Premium Cuma Turun Rp 200 - Rp 300).
Ketika itu, perusahaan investasi yang berbasis di Saudi, The Jadwa Investment, memperkirakan pemerintah menghabiskan US$ 61 miliar per tahun untuk subsidi energi. Dari jumlah itu, sebesar US$ 11 miliar habis unutk subsidi bensin. Karenanya, Pemerintah Saudi berencana mengurangi defisit menjadi US$ 87 miliar.
Untuk mengatasi ketimpangan pendapatan dan pengeluaran ini, Pemerintah Saudi sudah menghabiskan cadangan devisi cukup besar. Persediaan mata uang asing terutama dolar Amerika tergerus dari US$ 728 miliar pada akhir tahun lalu menjadi US$ 640 miliar Desember ini. Tak heran bila melihat kondisi ini para investor memantau dengan ketat atas apa yang akan dilakukan Saudi ketika minyak mentah makin terpuruk. (Lihat pula: Harga Minyak Rendah Menguntungkan Negara Net-importir?).
Analis Timur Tengah BBC, Sebastian Usher mengatakan sebetulnya, pada April lalu, Putra Mahkota Mohammed bin Salman mengumumkan rencana reformasi ini untuk mengurangi pengeluaran pemerintah dan mengurangi ketergantungan pada pendapatan minyak. Bahkan, dalam Visi 2030, pemerintah berencana memotong gaji sektor publik 40 persen. Kompensasinya, lapangan kerja sektor swasta akan ditingkatkan.