MK Kabulkan Gugatan Setya, Rekaman "Papa Minta Saham" Ilegal

Arief Kamaludin (Katadata)
7/9/2016, 20.22 WIB

Nasib baik sedang berpihak kepada Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan Setya terhadap uji materi dua pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Alhasil, rekaman kasus "Papa Minta Saham" yang telah menjungkalkan Setya dari kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhir tahun lalu, dinyatakan ilegal.

"MK mengabulkan permohonan sebagian frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam Pasal 5 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 11 Tahun 2008," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat saat pembacaan amar putusannya, seperti dalam keterangan pers yang diterima Katadata, Rabu (6/9).

Arief juga menyebut gugatan Novanto terhadap Pasal 44 huruf B UU ITE dikabulkan oleh MK. Keputusan itu dituangkan dalam surat Nomor 20/PUU-XIII/2016. (Baca: Jelang Sidang Putusan Setya, Jokowi "Kirim" Dua Pesan ke MKD)

Berdasarkan keputusan itu, mahkamah beranggapan langkah perekaman percakapan yang dilakukan oleh Presiden Direktur PT Fereeport Indonesia Ma'roef Sjamsoeddin kala itu, tanpa izin pengadilan. Jadi, rekaman atau penyadapan itu dianggap tidak sah. Lantaran MK memutuskan penyadapan itu tidak sah maka secara otomatis rekaman tersebut tidak dapat menjadi bukti sah di pengadilan.

Alasan lain keputusan MK mengkabulkan permohonan Setya adalah tidak ada penjelasan mendetail tentang tata cara penyadapan. Begitu pula ketiadaan regulasi tentang penyadapan. "Ini agar tidak ada kesewenang-wenangan atas privasi warga negara," kata Arief.

Namun, putusan MK itu tidak bulat. Dua hakim konstitusi menyampaikan dissenting opinion. Hakim Suhartoyo menjelaskan gugatan Setya telah memenuhi Pasal 31 Ayat 3 UU ITE dan tidak membatalkan Pasal 5 ayat 1 dan 2 dalam beleid tersebut. Termasuk juga Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

(Baca: Transkrip Rekaman Lengkap Kongkalikong Lobi Freeport)

Sedangkan hakim I Dewa Gede Palguna menyoroti kedudukan Setya sebagai mantan anggota DPR saat pengajuan gugatan tersebut. Dengan begitu, sebenarnya Setya tidak layak mengajukan permohonan uji materi. "Ini telah konstitusional."

Sekadar menyegarkan ingatan, kasus "Papa Minta Saham" menyedot perhatian luas masyarakat pada Desember 2015. Dalam percakapan yang direkam oleh Maroef, Setya yang kala itu menjabat Ketua DPR menawarkan bantuan untuk memuluskan skenario perpanjangan kontrak Freeport lebih cepat dari jadwal yang semestinya berakhir tahun 2021. Skenario itu dilakukan dengan iming-iming pembagian saham dan mencatut nama Presiden Joko Widodo.

Kasus yang dilaporkan mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan Dewan DPR berujung pada pengunduran diri Setya sebagai Ketua DPR. Tak cuma itu, Kejaksaan Agung sempat menyidik kasus tersebut dengan memeriksa Setya atas dugaan rencana pemufakatan jahat.

(Baca: Kejaksaan: Setya Novanto Bisa Dijerat Undang-undang Korupsi)

Namun, dalam putusannya, MK juga mengabulkan gugatan Setya soal frasa pemufakatan jahat yang terkandung dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 tahun 200 mengenai Tindak Pidana Korupsi. Hal tersebut lantaran tidak dimuat secara detail jenis kejahatan apa yang terjadi.

"Frasa tindak pidana korupsi yang dimaksud pada Pasal 15 seharusnya menguraikan strafbaar (perbuatan yang dilarang) dalam bentuk kalimat definisional," kata Arief.

Keputusan ini juga mengundang dissenting opinion dari Palguna, Suhartoyo, serta hakim konstitusi Manahan Sitompul. Suhartoyo beranggapan modus tipikor saat ini sangat beragam dan pemufakatan jahat dalam tindak kejahatan ini amat mungkin terjadi. "Hal tersebut dapat masuk dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, serta Pasal 14 UU Tipikor," kata Suhartoyo.