PT Pertamina (Persero) menargetkan reserve replacement ratio (RRR) atau rasio penggantian cadangan yang terpakai akan tumbuh 200 hingga 400 persen per tahun. Target ini merupakan upaya Pertamina untuk memenuhi kebutuhan energi nasional yang terus meningkat.
Ketua Tim Tata Kelola (Tranformasi) Upstream Pertamina Bambang Manumayoso mengatakan penurunan produksi alamiah (decline) dan anjloknya harga minyak dunia menjadi tantangan terbesar Pertamina saat ini. Jika pada Agustus 2014, harga minyak masih sekitar US$70 per barel, pada Februari 2016 harga anjlok hingga mencapai US$26 hingga US$27 per barel.
Menurut dia, upaya yang dilakukan Pertamina saat ini adalah menahan penurunan produksi dengan menggunakan teknologi tepat guna. Selain itu, Pertamina harus terus melakukan eksplorasi untuk menggantikan maupun menambah cadangan yang sudah diproduksikan. (Baca: Cadangan Minyak Menipis, Terendah 16 Tahun Terakhir)
Dengan begitu, produksi dan reserve replacement ratio (RRR) migas harus bisa naik. “Sehingga cadangan yang sudah diproduksi dapat digantikan dengan cadangan baru yang lebih tinggi,” kata Bambang berdasarkan keterangan persnya, Kamis (18/8).
Bambang mengatakan pada periode 2010 hingga 2015, kinerja produksi migas perseroan rata-rata tumbuh enam persen per tahun. Sementara cadangan migasnya rata-rata hanya mengalami peningkatan sebesar 4,4 persen per tahun. Pertamina memproyeksikan pertumbuhan produksi migas mencapai delapan persen per tahun sepanjang 2015 hingga 2030.
Selain itu, Bambang mengatakan kata kunci lain untuk bertahan terhadap dampak penurunan harga minyak adalah pada biaya produksi per barel. Pertamina pun akan mengubah paradigma lama yang cenderung ‘Production at any Cost’ atau memproduksi migas berapapun ongkosnya. Paradigma ini akan diubah menjadi Creating More Values (Production dan Value of Investment) yakni dengan menciptakan nilai tambah dari semua asetnya.
(Baca: Pertamina EP Cari Cadangan Migas Baru di Tuban)
Jika sebelumnya ada beberapa aset dengan biaya operasional di atas US$30 per barel, sekarang Pertamina bisa menekan biaya tersebut menjadi di bawah US$20 per barel. “Rata-rata sudah turun semua. Dari segitu banyak bisa kami turunkan. Jadi biaya-biaya operasional dikurangi,” kata Bambang.
Dia mengaku Pertamina terus menggencarkan paradigma baru mengenai model bisnis hulu. Secara operasional paradigma baru itu seperti, peningkatan kinerja baik dari sisi volume maupun value, optimasi investasi (Capex).
Pertamina juga akan melakukan proses diferensiasi terhadap semua asetnya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan clustering asset atau mengklasifikasi aset dan portofolionya, sehingga terlihat aset mana yang dapat memberikan dampak nilai terbesar dan mana yang terendah. Kemudian masing-masing aset akan dievaluasi dengan berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk dapat memberikan nilai positif bagi perusahaan.
Ada juga aksi nyata untuk pertumbuhan, terutama portofolio bisnis, implementasi Operasional Excellent pada setiap proyek-proyek berdampak besar bagi Pertamina. Lalu pembenahan berkelanjutan untuk proses bisnis dan pengembangan Sumber Daya Manusia.
(Baca: Investasi Hulu Migas Semester I-2016 Turun 27 Persen)