Luhut Peringatkan Freeport Agar Tak Mendesak Perpanjangan Kontrak

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Miftah Ardhian
3/8/2016, 16.11 WIB

Pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral atau smelter milik PT Freeport Indonesia belum memperlihatkan kemajuan berarti. Padahal, pemerintah menargetkan pembangunan smelter tersebut dimulai pada pertengahan tahun ini dan rampung pengerjaannya pada 2017.

Dalam beberapa kesempatan, perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini meminta kejelasan terkait perpanjangan kontrak pertambangan di Papua. Kepastian perpanjangan ladang galian terbesar di Indonesia itu untuk menentukan investasi ke depan. (Baca: Menteri ESDM Akan Jamin Kepastian Hukum Bagi Freeport).

Menaggapi hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Maritim Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan mendorong perusahaan pertambangan untuk membangunan smelter sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Hal itu pun berlaku bagi Freeoprt.

Menurutnya, kepastian perpanjangan kontrak Freeport menjadi persoalan sendiri. Namun Luhut menegaskan tidak akan mempercepat pembuatan kontrak baru. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, proses renegosiasi perpanjangan kontrak pertambangan hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir, yakni pada 2019.

Jadi, Freeport tidak udah desak-desak kita-lah,” kata Luhut saat ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu, 03 Agustus 2016. “Negara kita berdaulat, kita tahu apa yang akan dilakukan.”

Meski demikian, Luhut menyatakam tidak akan semena-mena untuk menyuruh Freeport membangun smelter. Alasannya, untuk menjaga iklim investasi. Oleh karenanya akan segera dicari jalan keluar atas permasalahan tersebut dengan tidak melanggar perundangan. (Baca: Pemerintah Bahas Masalah Divestasi Saham Freeport Pekan Depan).

Terkait dengan izin ekspor Freeport yang akan habis dalam waktu dekat, Luhut mengatakan akan mengevaluasinya. Saat ini sedang berkonsolidasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. “Kemarin baru pertemuan pertama dengan Menteri ESDM. Kasih waktu beberapa kali lagi,” ujar Luhut.

Sebelumnya, Kementerian Energi memastikan proses peletakan batu pertama atau groundbreaking fasilitas pabrik pengolahan dan pemurnian mineral milik PT Freeport Indonesia akan tertunda. Sebab, sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai perpanjangan kontrak. (Baca: Freeport Minta Kepastian Kontrak, Pembangunan Smelter Molor).

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi Bambang Gatot Ariyono mengatakan proses groundbreaking pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur itu tidak bisa berjalan sesuai target awal. “Kemungkinan meleset itu,” ujar dia di kantornya, Jakarta, Jumat, 10 Juni 2016. 

Pada awal tahun ini, Direktur Freeport Indonesia Clementio Lamury pernah mengatakan optimistis pembangunan smelter di Gresik, Jawa Timur selesai tepat waktu. “Kami sudah melakukan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan. Akhir Juli tahun ini bisa groundbreaking,” kata Clementio saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi Energi dan Pertambangan DPR, 20 Januari 2016.

Kewajiban membangun smelter ini termuat dalam Undang-Undang Mineral dan Batubara. Bila tak melaksanakannya, kontraktor atau pemegang izin usaha dilarang mengekspor produknya. Larangan ini akan dicabut seiring kemajuan pembangunnan smelter.

Jalan Berliku kontrak Freeport (Katadata)

Namun, dalam tahapan tersebut, perusahaan akan terkena bea keluar progresif. Adapun izin menjual mineral ke luar negeri bisa diperbarui dalam periode tertentu. (Baca: Empat Perusahaan Siap Bangun Smelter di Gresik).

Dalam aturan teknis, Pasal 13 dan 14 Peraturan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Nomor 11 Tahun 2014 menyebutkan perpanjangan rekomendasi eskpor diberikan apabila perusahaan memenuhi sejumlah syarat. Pertama, kemajuan pembangunan smelter paling sedikit telah mencapai 60 persen dari target setiap enam bulan.

Kedua, mempunyai kinerja lingkungan yang baik selama enam bulan terakhir. Misalnya, baku mutu kualitas air dan udara memenuhi baku mutu lingkungan. Ketiga, membayar kewajiban penerimaan negara bukan pajak selama enam bulan terakhir.

Sementara itu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.011/2014 Pasal 4A menjelaskan tentang tarif Bea Keluar produk mineral hasil pengolahan yang dikelompokkan berdasarkan tingkat kemajuan pembangunan smelter sesuai presentase nilai serapan biaya. Indikatornya meliputi penempatan jaminan kesungguhan, Conditional Sales Purchase Agreement (CSPA) atau dokumen yang menunjukkan tersedianya pasokan bahan baku, fase studi, perijinan, penguasaan lokasi, penyiapan infrastruktur, rekayasa dasar, pengadaan peralatan, konstruksi, mechanical completion, dan commissioning.