Para pelaku industri minyak dan gas bumi di Indonesia yang berhimpun di dalam Indonesian Petroleum Association (IPA), menganggap Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2010 sebagai penyebab melesunya iklim investasi di sektor hulu migas. PP ini memuat aturan cost recovery atau pengembalian biaya dan pajak penghasilan di bidang usaha hulu migas oleh pemerintah. 

Direktur Eksekutif IPA Marjolijn Wajong mengatakan, aturan cost recovery yang terbit pada 2010 lalu itu menyebabkan perubahan tata cara perpajakan dan cost recovery dari operasi migas. Aturan ini sangat jauh berbeda dari semangat dan ketentuan awal dari kontrak kerjasama migas di Indonesia.

Menurut dia, kegiatan hulu migas merupakan kegiatan operasi dengan risiko tinggi dan modal yang besar karena merupakan investasi jangka panjang. Jadi, membutuhkan arahan dan kepastian hukum yang jelas demi melindungi investasinya.

PP itu juga yang menyebabkan lelang blok migas sepi peminat. “PP 79/2010 menjadi salah satu akar penyebab berkurangnya minat investor dalam penawaran tender blok migas dalam beberapa tahun ini terakhir,” kata Marjolijn berdasarkan siaran pers IPA, Selasa (2/8).  (Baca: Setahun Terakhir, Pemerintah Gagal Gaet Investor Garap Blok Migas)

Karena itulah, IPA siap bekerjasama dengan pemerintah untuk merevisi PP Nomor 79 tahun 2010. Langkah ini bagian dari upaya mendorong investasi kegiatan eksplorasi migas di Indonesia. 

IPA menilai ada beberapa aspek teknis dalam peraturan tersebut yang perlu dibahas bersama dan direvisi. Terutama menyangkut prinsip-prinsip perpajakan dan audit, tata kelola cost recovery, serta definisi risiko dan tanggung jawab yang menjadi prioritas.

IPA juga mengimbau pemerintah memasukkan kembali prinsip “assume and discharge” yang akan memberikan kepastian fiskal bagi para investor.

Dengan prinsip itu, investor hanya akan dikenakan pajak penghasilan bila telah berhasil berproduksi.

“IPA mendukung upaya pemerintah untuk menarik investasi ke dalam sektor hulu migas. Upaya ini sangat penting untuk mengimbangi produksi yang menurun dengan meningkatkan eksplorasi pencarian cadangan migas baru,” ujar Marjoljin. (Baca: Cadangan Minyak Menipis, Terendah 16 Tahun Terakhir)

Investasi hulu migas ini penting karena dapat berdampak pada ketersediaan sumber energi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, perolehan keterampilan, dan investasi sosial. Alhasil, bisa mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sebagai gambaran, pencapaian investasi hulu migas pada semester pertama tahun ini hanya US$ 5,65 miliar. Jumlahnya turun 27 persen dari periode sama tahun lalu yang mencapai US$ 7,74 miliar.

Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga sudah mengajukan revisi PP Nomor 79 tahun 2010 melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.  Salah satu poin yang diusulkan adalah perubahan dalam perhitungan pendapatan dan biaya (ring fencing) dari Plan of Development (PoD) Basis menjadi Blok Basis. Bahkan, untuk beberapa kasus khusus, perhitungannya berdasarkan National Basis. (Baca: Jokowi Dorong Revisi Aturan Cost Recovery dan Pajak Hulu Migas)

Selain Kementerian Koordinator Perekonomian, pembahasannya akan melibatkan pula Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). “Kalau kami dari dahulu targetkan tahun ini, pada kuartal tiga atau akhir tahun harus kelar (revisi PP No. 79),” kata Wiratmaja di Jakarta, Jumat (29/7) pekan lalu.