Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mempercepat penandatanganan kontrak Blok East Natuna. Rencananya, kontrak tersebut akan diteken tahun depan.
Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N Wiratmaja Puja mengatakan, saat ini Blok East Natuna masih dalam tahap kajian teknologi dan pemasaran. Kajian ini dilakukan oleh konsorsium yang dipimpin oleh Pertamina bersama mitranya yakni ExxonMobil dan PTT Thailand. (Baca: Pertamina Klaim Total Mundur dari Konsorsium Blok East Natuna)
Menurut dia, awalnya proses kajian ini membutuhkan waktu dua tahun. Tapi, pemerintah menginginkan agar kajian bisa dipercepat menjadi 1,5 tahun. “Sehingga akhir 2017 kami bisa tetapkan kontrak bagi hasil yang baru," kata Wiratmaja di Jakarta, Jumat (22/7).
Blok ini memang menjadi perhatian pemerintah karena belum juga berproduksi sejak dieksplorasi 1973 silam. Padahal, potensi yang ada di blok ini sangat besar, bahkan bisa empat kali lipat dari Blok Masela.
Kementerian ESDM mencatat, cadangan gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) di Blok East Natuna mencapai 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan terbuktinya 46 tcf. Tapi, kandungan karbondioksida (CO2) sebesar 72 persen.
Kandungan CO2 ini jika diproduksi bisa berdampak pada lingkungan atau pipa. Jadi, CO2 tersebut harus dipisahkan dengan diinjeksi kembali ke perut bumi.
Agar gas itu bisa dikomersialkan maka membutuhkan teknologi pemisahan CO2. Dari sisi teknologi, Wiratmaja mengatakan, sudah ada yang bisa memisahkan CO2 dari gas. Selain itu, teknologi injeksi CO2 juga ada. Tapi ongkosnya mahal.
Untuk itu, pemerintah akan menyiapkan beberapa insentif. Dengan begitu, Internal Rate of Return (IRR) atau tingkat pengembalian investasi untuk mengembangkan Blok East Natuna dapat mencapai 12 persen. (Baca: Pemerintah Siapkan Insentif Agar Blok East Natuna Cepat Produksi)
Wiratmaja juga pernah mengatakan, sejumlah insentif yang disiapkan. Pertama, keringanan pajak atau tax holiday selama lima tahun. Kedua, jangka waktu kontrak lebih lama, yakni hingga 50 tahun.
Ketiga, bagi hasil yang lebih besar untuk kontraktor. Skenario terburuknya adalah 100 persen bagi hasil minyak dan gas bumi dari blok tersebut menjadi milik kontraktor. Itupun bagi hasil sebelum dikurangi dengan pajak.
Setidaknya ada dua faktor yang jadi pertimbangan pemerintah memberikan bagi hasil lebih besar untuk kontraktor. Pertama, keekonomian proyek tersebut. Kedua, pertimbangan pertahanan negara.
Skema bagi hasilnya pun akan diubah.Nantinya kontraktor di Blok East Natuna bisa menggunakan skema bagi hasil sliding scale. Ini adalah konsep bagi hasil yang progresif berdasarkan akumulasi jumlah produksi. Jadi, dengan skema sliding scale yang produksinya semakin besar maka bagi hasil yang didapat negara ikut bertambah. Begitu juga sebaliknya. (baca: Pemerintah Tawarkan Skema Baru Bagi Hasil Blok East Natuna)
Menurut Wiratmaja, jika insentif itu tidak diberikan maka opsi lainnya adalah menunggu harga minyak mencapai level US$ 100 per barel agar mencapai tingkat keekonomian. “Ini yang sedang dikaji, mana yang lebih baik. Nanti pimpinan negara yang memutuskan,” kata dia, 30 Juni lalu.
Sementara itu, Pertamina selaku pemimpin konsorsium belum menanggapi permintaan pemerintah. Hingga berita ditulis, Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro belum membalas pertanyaan Katadata melalui aplikasi WhatsApp.