Pemerintah terus berupaya mempercepat pengembangan blok minyak dan gas (migas) di kawasan perairan Natuna. Salah satunya adalah memproduksi minyak terlebih dahulu di Blok East Natuna.
Direktur Jenderal Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan produksi minyak di Blok East Natuna bisa lebih awal dibandingkan produksi gas. “Minyaknya kalau hitung-hitung tiga tahunan waktu untuk produksi,” kata dia saat ditemui di Kementerian ESDM, Senin (18/7).
(Baca: Kemenko Maritim Minta Pertamina dan ESDM Kaji Insentif East Natuna)
Ia mencatat, cadangan minyak di Blok East Natuna mencapai 46 juta barel. Minyak ini berada di bawah lapisan gas yang ada di blok tersebut, sehingga memungkinkan untuk diproduksi awal sebelum produksi gas.
Jika sudah dikembangkan, blok ini bisa memproduksi minyak sebanyak 7 ribu hingga 15 ribu barel per hari (bph). “Memang skalanya kecil tapi bisa mulai untuk percepatan,” ujar dia.
Di sisi lain, untuk memproduksi gas yang ada di Blok East Natuna, para pemilik konsorsium yakni PT Pertamina (Persero), ExxonMobil dan PTT Thailand masih melakukan studi bersama. Menurut Wiratmaja, studi ini diperkirakan membutuhkan waktu dua tahun.
Tapi, untuk memproduksi minyak atau gas, pemerintah akan mempercepat penandatanganan kontrak bagi hasil. Sebab, sampai saat ini blok tersebut belum memiliki kontrak bagi hasil.
Untuk itu, pemerintah sedang menyiapkan beberapa strategi. Namun, Wiratmaja belum mau menyebutkan strategi tersebut. “Setelah lapor sama Amien Sunaryadi (Kepala SKK Migas), Dwi Soetjipto (Direktur Utama Pertamina) dan Menteri ESDM (Sudirman Said) nanti saya sampaikan,” ujar dia.
Meski begitu, salah satu opsi yang sedang dibahas adalah perubahan skema bagi hasil Blok East Natuna. Kontraktor blok migas di Laut Natuna itu bisa menggunakan skema bagi hasil sliding scale. (Baca: Pemerintah Tawarkan Skema Baru Bagi Hasil Blok East Natuna)
Sliding scale adalah konsep bagi hasil yang progresif berdasarkan akumulasi jumlah produksi. Jika produksinya semakin besar maka bagi hasil yang didapat negara ikut bertambah. Begitu juga sebaliknya.
Wiratmaja juga pernah mengatakan, pemerintah sudah memiliki beberapa opsi insentif untuk blok yang dioperatori oleh PT Pertamina (Persero). Pertama, insentif keringanan pajak atau tax holiday selama lima tahun. Kedua, jangka waktu kontrak lebih lama, yakni hingga 50 tahun.
Ketiga, bagi hasil yang lebih besar untuk kontraktor. Skenario terburuknya adalah 100 persen bagi hasil minyak dan gas bumi dari blok tersebut menjadi milik kontraktor. Itupun bagi hasil sebelum dikurangi dengan pajak. (Baca: Pemerintah Siapkan Insentif Agar Blok East Natuna Cepat Produksi)
Insentif ini diberikan agar Internal Rate of Return (IRR) atau tingkat pengembalian investasi untuk mengembangkan Blok East Natuna sebesar 12 persen. Apalagi kandungan karbondioksida di blok itu mencapai 72 persen. Padahal volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan terbuktinya 46 tcf.