Mahkamah Arbitrase Internasional telah menggelar persidangan sengketa Laut Cina Selatan. Filipina menang dalam kasus ini. Pengadilan menyebut Cina tidak memiliki bukti sebagai pemilik eksklusif atas wilayah perairan serta sumber daya alam di kawasan ini.
Cina tidak terima dan menganggap putusan pengadilan tersebut batal demi hukum. Negara ini mengatakan hampir semua bagian dari Laut Cina Selatan, termasuk terumbu karang dan kepulauan di sana, telah diklaim negara-negara lain.
“Putusan pengadilan tidak akan mempengaruhi kedaulatan teritorial serta hak berlayar Cina di Laut Cina Selatan,” kata Presiden Cina Xi Jinping, seperti dilansir BBC, Selasa (12/7).
Meski demikian, Cina berkomitmen utnuk menyelesaikan sengketa melalui negosiasi dengan mempertimbangkan fakta historis dan merujuk pada hukum internasional. (Baca: Insiden Ketiga Kali di Laut Cina Selatan, TNI Tembak Kapal Cina)
Taiwan juga menilai putusan Mahkamah Arbitrase Internasional sangat mencederai hak negaranya. Seperti diketahui, Taiwan juga memperebutkan wilayah Laut Cina Selatan.
Di sisi lain, kuasa hukum Filipina, Phillippe Sands menyebut putusan pengadilan sudah jelas dan bulat, memberi hak atas Laut Cina Selatan kepada negaranya. Saat ini pemerintah Filipina sedang mempelajari putusan Mahkamah Arbitrase Internasional.
Filipina memiliki persoalan diplomatis dengan Cina atas wilayah Scarborough Shoal dan Spratlys di Laut Cina Selatan. Negara ini menganggap teritorial yang diakui Cina telah melanggar Konvensi Internasional tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Meski tidak berpenduduk, kedua pulau itu dikelilingi oleh kekayaan sumber daya alam mineral. Wilayah perairan di sekitarnya menjadi jalur utama pelayaran serta lokasi penangkapan ikan bagi penduduk di sekitar kawasan tersebut. Makanya selain Filipina dan Cina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei juga memperebutkan dua wilayah ini.
Berdasarkan laporan BBC di ibu kota Filipina, Manila, tidak ada perayaan atas putusan pengadilan internasional tersebut. Presiden baru negara ini, Rodrigo Duterte disebut-sebut telah berjanji kepada Cina, tidak akan memberi respons berlebihan. Hal ini dilakukan untuk memastikan kelangsungan investasi Cina di negaranya.
Amerika Serikat menilai keputusan Mahkamah Arbitrase Internasional sebagai kontribusi penting dalam menciptakan kedamaian di Laut Cina Selatan. Negara ini meminta semua pihak menerimanya sebagai putusan yang sah dan mengikat. (Baca: Laut Cina Memanas, Kontraktor Migas Diminta Buka Kantor di Natuna)
Sebelum pengadilan internasional mengeluarkan putusannya, Amerika Serikat telah mengirim kapal induk serta jet tempur ke kawasan tersebut. Sementara, Angkatan Laut Cina melakukan latihan di dekat Kepulauan Paracel yang juga menjadi sengketa.
Sidang yang berlangsung di Hague, Belanda tersebut menyatakan Cina melakukan pelanggaran kedaulatan Filipina. Cina juga dinilai telah merusak terumbu karang di Laut Cina Selatan dengan membangun pulau-pulau buatan.
Pengadilan mengeluarkan putusan berdasarkan hukum laut PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), yang telah ditandatangani kedua negara. Persidangan memenangkan tujuh dari 15 gugatan yang diajukan Filipina. Beberapa di antaranya adalah:
- Nelayan dari Filipina dan Cina sama-sama berhak melakukan kegiatan di area Scarborough Shoal. Namun, Cina melakukan pelanggaran dengan menetapkan batas akses bagi nelayan Filipina.
- Cina sudah merusak kondisi alam di Laut Cina Selatan.
- Penggunaan sementara wilayah di atas air bukan merupakan bukti adanya penduduk yang menempati kawasan tersebut.
Putusan pengadilan ini memang bersifat mengikat. Namun Mahkamah Arbitrase Internasional tidak berwenang dalam penegakan hukum. (Baca: Tembak Kapal Ikan, TNI Curigai Rencana Cina Perluas Wilayahnya)