PT Pertamina (Persero) mulai mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium dan Solar. Pengurangan impor ini menyebabkan perusahaan memperoleh penghematan sekitar US$ 131 juta atau Rp 1,7 triliun per bulan.
Direktur Pengolahan Pertamina Rahmad Hardadi mengatakan pengurangan impor ini karena pengoperasian dua fasilitas pengolahan minyak (kilang) perusahaan. Yakni Residual Fluid Catalytic Cracker Kilang Cilacap dan Kilang Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI).
"Dari pengoperasian tersebut, impor Premium berkurang sekitar 30 hingga 42 persen dan Solar 44 persen," kata dia saat acara temu wartawan di Pertamina Jakarta, Selasa (28/6).
Impor Solar ini terus menyusut hingga satu persen di awal tahun ini. Saat ini Pertamina malah sudah mengalami surplus Solar. Surplus ini selain disebabkan beroperasinya dua fasilitas pengolahan tersebut, juga karena serapan yang masih rendah. (Baca: BPK Minta Pertamina Setor Keuntungan Solar Subsidi Rp 3,1 T ke Negara)
Menurut Hardadi, Pertamina mengalami kelebihan Solar sekitar 1.700 kiloliter per hari atau setara 10 ribu barel dari rata-rata penyaluran solar harian sebesar 50 ribu kilo liter. Sementara produksi hingga Mei 2016 mencapai 51,14 juta barel, dari target 125 juta barel.
Salah satu penyebab rendahnya penyerapan solar adalah adanya program mandatori biodiesel 20 persen atau B20. Kebijakan ini mewajibkan mencampur solar dengan 20 persen biodiesel, sehingga komposisi Solar makin turun.
Penyerapan Solar rendah juga karena merosotnya permintaan dari industri. Pelemahan ekonomi global ternyata ikut memukul industri seperti industri pertambangan. Padahal industri ini adalah salah satu konsumen Solar. (Baca: Ekonomi Lesu, Industri Manufaktur Kuartal II Diprediksi Turun)
Kelebihan produksi juga terjadi pada minyak tanah atau kerosene. Program konversi minyak tanah ke Elpiji yang terus berjalan, menjadi salah satu penyebab surplus ini. Surplus ini kemudian diekspor, sehingga Pertamina bisa mendapat nilai tambah sebesar US$ 7,1 juta per bulan.
Dengan adanya surplus Solar dan Kerosene, Pertamina berencana mengkonversi dua jenis bahan bakar tersebut menjadi Avtur. Bahan bakar yang biasa digunakan untuk pesawat terbang. Rencananya Solar dan Minyak Tanah yang dikonversi sebanyak 400 ribu – 500 ribu barel per bulan. Dengan begitu, ada nilai tambah yang bisa dihasilkan sebesar US$ 7,09 juta.
Pertamina juga telah berhasil menghentikan impor High Octane Mogas Component (HOMC). HOMC merupakan minyak pencampur bensin agar nomor oktannya tinggi. Nilai tambah dari penghilangan impor HOMC tersebut mencapai sekitar US$15 juta per bulan.
Di sisi lain, Pertamina telah menghentikan ekspor LSWR dan Naphta. Kedua produk ini akan diolah menjadi produk bernilai lebih tinggi di kilang dalam negeri, termasuk di antaranya memproduksi HOMC, Solar, dan Propylene. (Baca: Impor BBM Bisa Teratasi Dengan Menghilangkan Pemburu Rente)
Penghematan juga didapat dari hasil sentralisasi pengadaan melalui manajemen kategori teroptimasi. Langkah ini mampu menghasilkan penghematan sebesar US$ 10,8 juta per bulan. “Kami juga memproduksi Pertalite, Pertamax Series, dan Dexlite dengan nilai tambah sekitar US$3,12 juta per bulan,” kata dia.