Pemerintah terlihat lebih pesimistis terhadap produksi minyak dan gas bumi tahun ini. Dalam draf Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P), pemerintah menargetkan produksi migas siap jual (lifting) lebih rendah dari target yang telah ditetapkan sebelumnya dalam APBN 2016.
Lifting minyak ditargetkan sebesar 810 ribu barel per hari (bph) dan lifting gas sebesar 1.115 ribu barel setara minyak per hari (bsmph). Padahal sebelumnya dalam APBN 2016, lifting minyak ditergetkan sebesar 830 ribu bph dan gasnya 1.155 ribu bsmph.
“Tren penurunan produksi minyak berpengaruh pada lifting gas bumi,” dikutip dari draf APBN-P 2016 yang diperoleh Katadata, Kamis (2/6). Kementerian Keuangan menyerahkan draf tersebut kepada DPR hari ini. (Baca: Capai Target Lifting 2016, SKK Migas Bertumpu pada Blok Cepu)
Pemerintah menilai, lifting migas memang menunjukkan tren penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya adalah penurunan alamiah sumur-sumur migas yang saat ini menjadi sumber produksi andalan.
Selain penurunan alamiah, investasi, baik pengeboran maupun pencarian sumber minyak baru terkendala pada tingginya biaya eksplorasi. Tren penurunan harga minyak yang terjadi sejak pertengahan 2014 membuat produksi migas semakin tidak ekonomis. (Baca: Produksi Turun, Harga Minyak Indonesia Melonjak 20 Persen)
Pada tahun lalu realisasi lifting minyak bumi sebesar 778 ribu bph. Pencapaiannya hanya 94 persen dari target APBN-P 2015 mencapai 825 ribu bph. Sama halnya dengan realisasi lifting gas yang masih di bawah target. Lifting gas hanya mencapai 1.195 ribu bsmph, atau 97 persen dari target APBN-P tahun 2015 sebesar 1.221 ribu bsmph.
Meski tidak mencapai target, awalnya pemerintah masih optimistis produksi minyak tahun ini lebih tinggi dari tahun lalu. Proyek migas di lapangan Banyu Urip Blok Cepu yang baru selesai, menjadi andalan untuk mengejar target yang lebih besar.
Dalam kenyataannya produksi minyak dari Blok Cepu memang meningkat dua kali lipat tahun ini. Dari yang hanya 80 bph pada akhir tahun lalu, meningkat menjadi 170 bph saat ini. Masalahnya harga minyak yang masih rendah dan sumur yang sudah tua menyebabkan produksi di lapangan minyak lain berkurang.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat hingga Maret 2016, realisasi lifting minyak bumi mencapai rata-rata 820 ribu bph. Belum bisa mencapai target APBN 2016 yang ditetapkan sebesar 830 bph. (Baca: Fokus Penggunaan LNG untuk Wilayah Timur)
Pertimbangan tersebut yang membuat pemerintah merevisi target lifting minyak. Namun, pemerintah menyatakan akan tetap berupaya mendorong efisiensi produksi oleh KKKS. Agar tekanan penurunan lifting minyak bumi dapat diminimalisasi.
Sementara realisasi lifting gas bumi secara umum menghadapi kendala pada tingkat penyerapannya di dalam negeri. Meski sudah dialokasikan untuk kebutuhan dalam negeri, masih banyak gas yang belum punya komitmen (uncontracted) pembeli. Untuk mengurangi risiko ini, pemerintah mendorong pemanfaatan gas untuk pasar dalam negeri dengan membangun infrastruktur gas.
Penurunan target lifting ini juga berpengaruh pada penurunan target penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor migas. Dalam RAPBN-P 2016, pemerintah mengajukan target PNBP migas hanya Rp 28,4 triliun. Turun sangat jauh, sebesar 63,8 persen dari target yang ditetapkan sebelumnya dalam APBN 2016 yang mencapai Rp 50,2 triliun.
Penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari sektor migas pun dikurangi Rp 17,1 triliun. Pemerintah hanya bisa menargetkan PPh migas tahun ini sebesar Rp 24,3 triliun. Padahal dalam APBN 2016, penerimaan PPh migas ditargetkan hingga Rp 41,4 triliun.
Penurunan target penerimaan ini tidak hanya disebabkan pengurangan lifting migas. Penurunan harga minyak mentah Indonesia (ICP) juga menjadi penyebab lainnya. Pemerintah memproyeksikan ICP tahun ini hanya US$ 35 per barel, jauh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya di angka US$ 50 per barel.