Badan Pemeriksa Keuangan menemukan sedikit kejanggalan dalam Laporan Keuangan PT Pertamina (Persero) tahun 2015. Dalam laporan keuangan tersebut, BPK melihat ada kelebihan pendapatan dari penjualan solar bersubsidi.
Kelebihan pendapatan disebabkan karena pemerintah menetapkan harga jual eceran Solar bersubsidi lebih tinggi dari harga keekonomiannya. Padahal pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp 1.000 per liter untuk bahan bakar jenis ini. (Baca: Untung Jualan Premium, Laba Kuartal I Pertamina Meningkat)
Ketua BPK Harry Azhar Aziz mengatakan, penetapan harga jual solar bersubsidi yang lebih tinggi dari harga dasar termasuk pajak membuat keuntungan badan usaha, dalam hal ini Pertamina bertambah. Hal ini membuat Pertamina meraup keuntungan hingga Rp 3,1 triliun.
“Sampai saat ini, Pemerintah masih belum menentukan status dana tersebut,” ujar Harry saat menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dalam Sidang Paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (2/6).
Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang mengatakan tidak ada kelebihan subsidi yang didapat Pertamina. Karena pemerintah telah menetapkan subsidi tetap. Kelebihan pendapatan yang dimaksud BPK merupakan keuntungan yang didapat Pertamina dari penjualan solar. (Baca: Upaya Efisiensi, Pertamina Berhasil Menghemat Rp 17,8 triliun)
Keuntungan ini belum dievaluasi lebih lanjut bersama pemerintah. “Apakah bisa diperhitungkan dengan kerugian premium penugasan serta keuntungan perusahaan yang dijinkan sebesar 10 persen,” ujar Ahmad kepada Katadata, Kamis (2/6).
Sumber Katadata yang merupakan salah satu pelaku usaha distribusi BBM mengatakan, pihaknya menjual solar nonsubsidi dengan harga yang lebih rendah dari harga solar bersubsidi yang dijual Pertamina. Ini sudah terjadi saat pemerintah menurunkan harga solar pertama kali pada 2015. “Bagaimana mereka tidak untung besar,” ujarnya.
Anggota VII BPK Achsanul Qosasi mengatakan berdasarkan aturan dan ketentuannya, pemerintah memberikan subsidi tetap untuk solar sebesar Rp 1.000 per liter. Namun, ada waktu-waktu tertentu pada tahun lalu, pemerintah memberikan subsidi lebih rendah dari yang seharusnya. Ini terjadi karena adanya tren penurunan harga minyak dunia yang terjadi sepanjang tahun lalu.
Dia mengakui bahwa kelebihan pendapatan ini telah dilaporkan Pertamina dalam laporan keuangannya. Namun, BPK mempertanyakan kejelasan mengenai status dana tersebut. BPK ingin kelebihan pendapatan dari hasil penjualan solar ini dihitung sebagai penerimaan negara. (Baca: Harga Minyak Anjlok, Laba Pertamina Tergerus Rp 409 Miliar)
Meskipun menemukan adanya kejanggalan dalam laporan keuangan Pertamina, Achsanul mengaku, BPK tidak memiliki kewenangan untuk menentukan status dana tersebut. “Tinggal nanti badan usaha ini (Pertamina) berdiskusi dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),” ujarnya.
Ada dua opsi yang bisa dilakukan, apakah dana ini akan dikompensasikan untuk subsidi tahun depan atau Pertamina mengembalikan dana tersebut kepada negara. Achsanul mengisyaratkan bahwa Pertamina sudah membicarakan hal ini dengan pemerintah. Kemungkinan opsi yang akan diambil adalah menggunakan dana tersebut sebagai kompensasi subsidi tahun berikutnya. (Baca: Pertamina Setor Dividen 35 Persen dari Laba Bersih 2015)