Pemerintah membuka kesempatan bagi semua pihak yang ingin memberikan usulan dalam penyusunan aturan khusus untuk usaha migas laut dalam. Tujuannya agar aturan yang sedang digodok pemerintah ini bisa lebih menarik bagi investor.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan saat ini pemerintah sedang fokus mengembangkan potensi migas di laut dalam. Perlu aturan main yang baik untuk mengoptimalkan potensi migas yang masih sangat besar ini. “Saat ini aturan tersebut masih dalam tahap menerima masukan,” kata dia kepada Katadata, Rabu (1/6). (Baca: Pemerintah Godok Aturan Khusus Investasi Migas di Laut Dalam)
Kementerian ESDM mencatat potensi laut dalam di Indonesia sangat besar. Banyak cekungan-cekungan di laut dalam yang bisa menghasilkan migas. Sayangnya potensi tersebut belum bisa digarap optimal. Bahkan, proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) yang dikelola Chevron Indonesia sampai saat ini juga belum bisa menghasilkan migas. Padahal produksi gas dari proyek IDD diperkirakan bisa mencapai 1.270 juta kaki kubik gas per hari (mmscfd) dan sebanyak 47.000 barel kondensat per hari.
Menurut Wirat, proyek laut dalam di Indonesia kurang menarik, karena persentase pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR) untuk investor masih rendah. Masih kalah dibandingkan IRR yang bisa didapat dari ladang migas laut dalam di Meksiko. Seharusnya IRR yang diperoleh kontraktor untuk menggarap laut dalam di atas 20 persen, tapi di Indonesia masih di bawah itu.
Pengembalian investasi di laut dalam harus tinggi, karena risiko yang ditanggung investor sangat besar. Risiko ini yang menyebabkan beberapa proyek laut dalam gagal. Data Kementerian ESDM mencatat selama periode 2009 sampai 2013, ada 12 kontraktor migas merugi dengan total US$ 1,9 miliar saat melakukan eksplorasi di laut dalam.
Salah satunya adalah ExxonMobil di Blok Surumana. Perusahaan asal Amerika Serikat ini gagal menemukan cadangan migas. Akibatnya ExxonMobil harus menanggung kerugian US$ 123 juta. Tidak hanya ExxonMobil, ConocoPhillips juga rugi US$103 juta karena belum menemukan cadangan migas di Blok Arafuru Sea. (Baca: SKK Migas: Belum Ada Kontraktor Temukan Cadangan Ekonomis)
Wirat mencontohkan Norwegia yang sukses mengembangkan potensi migas laut dalam. Banyak investor yang mau menanamkan modalnya di negara tersebut. Padahal, Norwegia memiliki kondisi laut dalam yang sangat sulit dijangkau untuk kegiatan operasi migas.
Kesuksesan Norwegia ini tidak lepas dari peran pemerintah yang membuat investor tertarik menanamkan modalnya. Saat ini pemerintah kata Wirat juga tengah menyiapkan sejumlah insentif agar investasi migas laut dalam di Indonesia bisa lebih kompetitif.
Salah satunya dengan memperpanjang masa eksplorasi bagi laut dalam. Pemerintah biasanya memberikan jatah waktu kepada kontraktor untuk melakukan eksplorasi paling lama 10 tahun. Nantinya masa eksplorasi akan ditambah menjadi 15 tahun. (Baca: Produksi Lapangan Bangka Mundur Sampai Agustus 2016)
Insentif lainnya berupa perubahan split (bagi hasil) yang lebih besar untuk kontraktor migas di laut dalam. Porsi bagi hasil ini memang sering dikeluhkan investor migas yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia. Ini juga merupakan salah satu hal yang menyebabkan usaha migas di dalam negeri dianggap kurang menarik.