Harga minyak dunia terus merangkak naik. Pada perdagangan Selasa ini (17/5), harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman Juli 2016 sudah menyentuh level US$ 49,22 per barel atau naik 0,51 persen dari hari sebelumnya. Sementara itu, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak Juni 2016 melonjak 0,96 persen menjadi US$ 48,18 per barel. 

Jika dihitung sejak 20 Januari lalu saat harga minyak jatuh ke level terendahnya US$ 27,88 per barel, maka besaran kenaikannya mencapai 76,5 persen.

Dewan Penasehat Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto melihat, penyebab kenaikan harga minyak dunia secara fundamental adalah berkurangnya produksi dari negara-negara non-anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) atau negara-negara pengekspor minyak. Produksi hingga akhir tahun ini diperkirakan mencapai 600 ribu barel per hari (bph). (Baca: Kebangkitan Emas Hitam?)

Selain negara-negara non-OPEC, negara-negara yang tergabung dalam OPEC seperti Venezuela dan Nigeria, juga sudah terganggu kestabilan ekonominya akibat harga minyak yang terlalu rendah. Beberapa negara itu menurunkan produksinya, meskipun Iran malah meningkatkan produksi minyaknya.

Tidak hanya itu, persediaan minyak di negara-negara Islam atau Organisation of Islamic Cooperation (OIC) juga menipis karena sudah digunakan. Padahal persediaan minyak dari OIC sempat di atas 50 miliar barel. “Jadi, secara fundamental yang namanya over supply mulai ada pengurangan, itu kemudian yang membuat pelan-pelan harga minyak naik,” kata dia kepada Katadata, Selasa (17/5).

Selain itu, sentimen pergantian Menteri Perminyakan Arab Saudi juga ikut berpengaruh terhadap harga minyak dunia. Pencopotan Al-Naimi yang digantikan oleh Khalid al-Falih sebagai Menteri Perminyakan Arab Saudi, bisa menjadi sentimen positif berhentinya perang harga minyak. (Baca: Perang Harga Minyak: Kekalahan Amerika dan Kemenangan OPEC)

Pada era Al-Naimi, menurut Pri Agung, Arab Saudi terus meningkatkan produksi agar harga minyak turun. Tujuannya untuk mematikan pangsa pasar minyak serpih (shale oil) yang diproduksi Amerika Serikat. Namun, strategi itu kemungkinan tidak akan dilakukan oleh Khalid al-Falih. “Dia bersedia berkompromi agar harga membaik, tetapi dengan konsekuensi shale oil akan hidup lagi,” ujar dia.

Namun, Pri Agung tidak bisa memperkirakan kelanjutan kenaikan harga minyak hingga akhir tahun nanti. Yang jelas, posisi saat ini membuka peluang kenaikan harga minyak hingga level US$ 50 per barel, atau bahkan US$ 60 per barel.  

Kenaikan harga minyak ini merupakan sinyal positif untuk Indonesia. Dari sisi sektor hulu migas, kenaikan harga minyak saat ini akan menggairahkan kembali investasi di dalam negeri. Sementara di hilir, kenaikan harga ini belum tentu akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Sebab, harga BBM dievaluasi setiap tiga bulan. “Harapan saya harga bisa membaik. Yang jelas bahwa titik terendah itu sudah lewat,” kata dia. (Baca: IPA: Industri Migas Indonesia Masuk Tahap Kritis)

Rendahnya harga minyak memang telah memukul industri hulu migas selama setahun terakhir. Dalam riset Wood Mackenzie, secara global industri migas telah mengurangi belanja investasi hingga US$ 400 miliar sejak kuartal keempat 2014 hingga kuartal kedua 2016. Pada tahun ini, investasi kegiatan eksplorasi diperkirakan turun sekitar US$ 40 miliar. Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan utama migas di Indonesia telah menunda investasi hingga US$ 7 miliar.