Pemerintah berkomitmen untuk terus meningkatkan penggunaan produk dalam negeri untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. Salah satu upayanya, pemerintah akan mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKS) menggunakan kapal Floating Production Storage and Offloading (FPSO) lokal.
FPSO merupakan fasiltas untuk mengolah atau memisahkan minyak mentah, gas dan air dari sumur produksi. Industri galangan kapal di dalam negeri sebenarnya sudah bisa memproduksi kapal tersebut. Namun, kemampuan ini belum dioptimalkan.
Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudianto Rimbono mengatakan selama ini pembuatan kapal FPSO dilakukan di luar negeri. Sehingga kontribusi industri perkapalan nasional terhadap hulu migas masih rendah.
Padahal Indonesia mempunyai banyak industri galangan kapal yang mumpuni. "Galangan kapal Indonesia selama ini tidak hanya melayani kebutuhan dalam negeri tapi juga global," kata dia kepada Katadata, Jumat (13/5). (Baca: Ada Insentif, Investor Asing Berminat Bangun Galangan Kapal)
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, saat ini ada sebanyak 250 galangan kapal di Indonesia. Sekitar 70 diantaranya berlokasi di Batam, Riau. Lokasi ini dianggap strategis karena berdekatan dengan Singapura. Sementara pemerintah memiliki empat galangan, yakni PT IKI di Makasar, PT DOK Kota Bahari di Jakarta, PT PAL di Surabaya, dan PT DOK Perkapalan di Surabaya.
Saat ini SKK Migas sedang menyusun aturan hukum untuk mewajibkan KKKS menggunakan FPSO dalam negeri. Rudianto mengatakan dalam waktu dekat aturannya akan segera terbit. Nantinya aturan ini akan selaras dengan Pedoman Tata Kerja (PTK) Nomor 007 mengenai pengadaan barang dan jasa. Sehingga dapat meningkatkan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Berdasarkan catatan SKK Migas, pertumbuhan TKDN industri hulu migas tahun lalu sebesar 64,49 persen. Pencapaian tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir. Adapun komitmen pengadaan barang dan jasa dalam menggenjot TKDN tersebut bernilai US$ 6,519 miliar. (Baca: Tingkatkan Kandungan Lokal Industri Migas, Tender Bisa Dihapus)
Rencana untuk mewajibkan KKKS menggunakan kapal FPSO dalam negeri ini sempat dikatakan sebelumnya oleh Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dalam seminar The Building of FPSO, di gedung SKK Migas, Jakarta, Rabu (11/5) lalu. Amien mengatakan kapal-kapal FPSO yang awalnya direncanakan akan dibuat dan dikonversi di luar negeri, kini wajib untuk dibuat, dikonversi, dan dipelihara di dalam negeri.
Kebijakan ini dibuat untuk meningkatkan kontribusi industri perkapalan nasional terhadap industri hulu migas. Selain memberi dukungan penuh terhadap pengembangan industri maritim di Indonesia, aturan ini juga diharapkan berdampak positif terhadap upaya peningkatan penerimaan negara dari sektor migas.
Tidak hanya mempersiapkan payung hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM) juga harus dipersiapkan. Dengan demikian fasilitas perkapalan yang dibutuhkan oleh industri sektor hulu migas dapat lebih terjamin dari sisi kualitas dan ketersediaannya. (Baca: Dua Aturan Ini Bikin Galangan Kapal Nasional Sulit Bersaing)
Saat ini, SKK Migas bersama KKKS mengelola dan mengoperasikan lebih kurang 620 kapal operasional untuk proyek jangka panjang dan 80 kapal untuk jangka pendek. Dari 24 kapal FSO dan FPSO, 7 unit diantaranya milik negara yang dikelola SKK Migas. Pengelolaan dan pengoperasian FPSO menyerap dana sebesar 820 juta dolar atau sekitar Rp 11,1 triliun.