Pemerintah berupaya memperbaiki iklim investasi di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) di tengah rendahnya harga minyak dunia saat ini. Salah satu caranya adalah menambah masa waktu eksplorasi untuk wilayah kerja migas yang berada di laut dalam.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I.G.N. Wiratmaja Puja mengatakan, harga minyak yang masih rendah saat ini memang memukul investasi di sektor hulu migas. Untuk itu, pemerintah harus memberikan insentif kepada para pelaku industri agar kegiatan usaha migas bisa terus berjalan. (Baca: Pelaku Migas Butuh Insentif Country Basis Untuk Dorong Eksplorasi)

Ada beberapa insentif yang tengah dikaji pemerintah. Antara lain, masa eksplorasi di laut dalam yang sebelumnya maksimal 10 tahun akan diperpanjang menjadi 15 tahun. "Itu masih dalam pembahasan opsi-opsi pemberian insentif," ujar Wiratmaja kepada Katadata, Jumat (13/5). 

Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, jangka waktu eksplorasi adalah enam tahun, dan dapat diperpanjang satu kali paling lama empat tahun berdasarkan permintaan dari kontraktor. Apabila dalam jangka waktu tersebut kontraktor tidak menemukan cadangan migas maka wajib mengembalikan seluruh wilayah kerjanya.  

Agar investasi di laut dalam menarik, pemerintah juga sedang meninjau ulang skema bagi hasil untuk proyek laut dalam. Hal ini juga mengacu hasil riset Wood Mackenzie, yang menyebut porsi bagi hasil yang diperoleh negara Indonesia selama ini terlalu besar dibandingkan negara-negara lain. Kondisi ini menyebabkan investasi migas di Indonesia kurang menarik bagi para investor.

Untuk sebuah lapangan minyak di laut dalam, Wood Mackenzie menghitung, porsi bagi hasil yang didapatkan Indonesia sekitar 81 persen. Porsi ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata secara global yang hanya 62 persen dan rata-rata di Asia Pasifik sebesar 70 persen. (Baca: Jatah Negara Terlalu Besar, Investasi Migas Kurang Menarik)

Wiratmaja mengaku pemerintah perlu membahas hasil riset Wood Mackenzie tersebut. Ada beberapa opsi yang saat ini masih dipertimbangkan, yakni besaran penggunaan sistem Dynamic Split atau Sliding Scale Revenue Over Cost (R/C) untuk bagi hasil.  

Melalui skema itu, bagi hasil pemerintah ataupun kontraktor akan berfluktuatif. Jika harga minyak dunia masih rendah, bagi hasil yang didapatkan pemerintah lebih sedikit. "Sedang dalam pembahasan, semua opsi sedang dipertimbangkan," kata dia. 

Proyek laut dalam yang kini masih terkatung-katung adalah Indonesian Deepwater Development (IDD) yang dikelola Chevron Indonesia. Proposal rencana pengembangan wilayah atau Plan of Development (PoD) yang diajukan sejak akhir tahun lalu belum mendapatkan persetujuan dari pemerintah. Bahkan, Chevron harus memperbaiki proposal tersebut sebanyak dua kali.  

Proposal pertama dikembalikan karena data yang diajukan tidak lengkap. Setelah melengkapi data, proposal tersebut ditolak karena Chevron meminta insentif yang tidak bisa diterima pemerintah. Chevron meminta investment credit Proyek IDD sebesar 240 persen. (Baca: Pemerintah Tolak Permintaan Insentif Chevron di Proyek IDD)

Selain belum mendapat persetujuan dari pemerintah, menurut Kepala Humas SKK Migas Taslim Z.Yunus, megaproyek itu juga belum ekonomis untuk dikembangkan di tengah harga minyak yang masih rendah. "Ekonomisnya sekitar US$ 70 per barel," kata dia beberapa waktu lalu.