Jatah Negara Terlalu Besar, Investasi Migas Kurang Menarik

ARIEF KAMALUDIN | KATADATA
Forum Diskusi IPA
10/5/2016, 19.52 WIB

Konsultan dan lembaga riset di bidang energi, logam, dan tambang Wood Mackenzie menilai jatah bagi hasil migas yang di dapatkan negara Indonesia terlalu besar. Hal ini menyebabkan investasi migas di Indonesia kurang menarik.

Manager of Upstream Oil and Gas for South Eeastern Asia for Wood Mackenzie Andrew Harwood mengatakan untuk sebuah lapangan minyak di laut dalam, porsi bagi hasil yang didapatkan Indonesia sekitar 81 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan rata-rata secara global yang hanya mencapai 62 persen dan rata-rata di Asia Pasifik 70 persen. (Baca: Investasi Migas Indonesia Tak Lagi Menarik).

Dengan bagi hasil seperti itu, pemerintah akan kesulitan untuk mendorong investasi di hulu migas. “Indonesia banyak ambil bagian. Itu akan susah menarik investasi karena investor tidak akan tertarik,” kata Andrew saat diskusi pada forum Indonesian Petroleum Association (IPA), di Jakarta, Selasa, 10 Mei 2016.

Selain sistem bagi hasil, Andrew juga menyoroti dampak pelemahan harga minyak dunia terhadap investasi di hulu migas. Dalam riset Wood Mackenzie, secara global industri migas telah mengurangi belanja investasi hingga US$ 400 miliar sejak kuartal keempat 2014 hingga kuartal kedua 2016. Pada tahun ini, investasi kegiatan eksplorasi diperkirakan turun sekitar US$ 40 miliar.

Kondisi serupa juga terjadi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan migas utama di Indonesia telah menunda investasi hingga US$ 7 miliar. Jika situasi ini berlanjut dan tidak ada perbaikan dari pemerintah, produksi migas Indonesia diperkirakan merosot hingga 40 persen pada 2025. “Ini disebabkan penundaan sejumlah proyek migas besar seperti Masela, Tangguh, dan Indonesian Deepwater Development (IDD),” ujar dia. (Baca: Harga Minyak Anjlok, Chevron Tunda Dua Lapangan Proyek IDD).

Dengan situasi saat ini, Direktur IPA Ronald Gunawan mengatakan pelaku industri hulu migas berharap adanya insentif. Insentif tersebut terutama untuk memacu investasi eksplorasi dan produksi. Beberapa bentuk insentif yang dapat dilakukan antara lain moratorium periode eksplorasi, transfer komitmen secara fleksibel untuk skema bagi hasil, dan penggantian tipe komitmen eksplorasi yang tidak kaku.

Hal yang sama juga disampaikan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara. Menurut dia untuk mendorong investasi di sektor migas diperlukan sejumlah insentif  seperti membuat peraturan baru yang mengubah skema bagi hasil dan pajak yang dinamis dan antisipatif. “Revisi kebijakan dan peraturan sektor energi juga harus cepat dilakukan,” kata dia.

Sementara Staf Ahli Bidang Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas Rudy Soeprihadi Prawiradinata mengatakan pemerintah menyadari dampak yang disebabkan anjloknya harga minyak. Penerimaan dalam APBN turun drastis, terutama terhadap dana bagi hasil (DBH) migas ke daerah penghasil. Pada 2014 total DBH migas tercatat Rp 42,91 triliun, turun tajam menjadi Rp 14,09 triliun pada 2015. (Baca: Penerimaan Migas Merosot Tajam).

Turunnya pendapatan negara dari sektor migas mengancam program pemerintah. “Pada 2016 pendapatan dari pajak turun signifikan. Anggaran pendidikan harus dikurangi Rp 6 triliun akibat pendapatan negara yang menurun,” ujar Rudy.