PT Pertamina menyatakan minimnya infrastruktur hingga panjangnya rantai distribusi menjadi penyebab mahalnya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di Papua. Menurut Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro, harga BBM di Papua memang lebih mahal dibandingkan wilayah lain. Jika pemerintah menetapkan harga Premium di luar Jawa, Madura, dan Bali sebesar Rp 6.450 per liter dan Solar Rp 5.150 per liter, hal itu tidak berlaku di Papua. (Baca: Turunkan Harga BBM, Pertamina Ditugasi Bangun Tangki di Papua).
Masyarakat Papua harus membeli BBM hingga Rp 20 ribu per liter. Bahkan, harga Premium di Kota Wamena, Kabupaten Jaya Wijaya mencapai Rp 80.000 per liter. Membengkaknya harga bahan bakar ini, kata Wianda, karena infrastruktur minim. Hal ini membuat rantai penyaluran BBM menjadi panjang. Dalam kondisi normal, distribusi BBM di Papua berasal dari Kilang Balikpapan. Setelah itu ditampung di terminal besar Wayame, kemudian disalurkan ke Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum kecil di Papua.
Permasalahannya, untuk daerah yang belum memiliki terminal BBM dan berada di daerah terpencil perlu tambahan transportasi untuk mengangkutnya. Sehingga biaya transportasi ikut melambung. Belum lagi jika ada gangguan cuaca. Kapal pengangkut BBM kemungkinan sampai tujuan tidak tepat waktu. Hal ini menimbulkan kelangkaan BBM sehingga menyebabkan naiknya harga. (Baca: Harga BBM di Maluku dan Papua Bisa Turun Tahun ini).
Menurut Wianda, masalah lain adalah ketergantungan pada pesawat udara seperti yang terjadi di Wamena. Di daerah tersebut, pesawat tidak hanya mengangkut BBM tapi juga bahan pokok. Sehinga, kalau bahan pokok belum ada, pengangkutan BBM mesti menunggu antrean.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Pertamina akan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi untuk mengawasi hingga tingkat eceran. Salah satu caranya bisa menyediakan lembaga penyalur di setiap kabupaten. “Agar masyarakat bisa mendapatkan harga yang lebih baik,” kata Wianda saat berbincang dengan wartawan di Jakarta, Kamis, 28 April 2016.
Pertamina juga menawarkan solusi untuk membangun infrastruktur hilir migas di tiap kabupaten di Indonesia Timur. Tahun ini Pertamina menyiapkan 20 proyek yang ditugaskan pemerintah. Dari jumlah itu, 16 proyek merupakan pembangunan tangki BBM dan sisanya pembangunan terminal elpiji. Total investasi yang dibutuhkan mencapai Rp 1,08 triliun. Seluruh dana itu bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016. (Baca: Pertamina Dapat Tugas Garap Infrastruktur Hilir di Indonesia).
Rencananya, tangki BBM ini memiliki total kapasitas 71.500 kiloliter. Kapasitas paling besar akan dibangun di Wayame, Maluku dengan kapasitas 30 ribu kiloliter. Sementara lokasi lainnya berada di Badas berkapasitas 2.500 kiloliter, Waingapu 2.500 kiloliter, Maumere 5.000 kiloliter, dan Pare-Pare 2.500 kiloliter. Selain itu, di Merauke berkapasitas 7.500 kiloliter, Ternate 3.000 kiloliter, Masohi 1.000 kiloliter, Bula 3.000 kiloliter, Dobo 2.000 kiloliter, Labuha 1.500 kiloliter, Saumlaki 1.000 kiloliter, Nabire 5.000 kiloliter, Namlea 3.000 kiloliter, dan Bima 2.500 kiloliter. Total, alokasi dananya mencapai Rp 212 miliar.