Pemerintah tidak akan mengobral insentif pengganti biaya operasi minyak dan gas bumi (migas) atau cost recovery. Meskipun minat perusahaan migas melakukan eksplorasi minim di tengah rendahnya harga minyak dunia saat ini. Alasannya, insentif cost recovery berdasarkan skema country basis yang diusulkan para kontraktor migas berpotensi mengurangi bagi hasil yang diperoleh pemerintah dari suatu blok.

Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah saat ini memang masih mengkaji sistem country basis. Dengan skema ini, kontraktor bisa mengajukan penggantian biaya operasi di seluruh wilayah kerjanya di Indonesia meskipun blok tersebut tidak menghasilkan minyak atau gas. (Baca: BPK Temukan Penyimpangan Cost Recovery ConocoPhillips dan Total)

Country basis memang berbeda dengan skema cost recovery yang berlaku saat ini, yakni plan of development basis (POD basis). Dengan skema POD basis, kontraktor hanya dapat mengajukan klaim penggantian biaya operasi pada satu lapangan tertentu yang sudah diajukan. Jika gagal menemukan cadangan migas, maka risiko ditanggung oleh kontraktor.

Hal inilah yang dikhawatirkan pemerintah. Kalau menggunakan skema country basis, kontraktor tetap bisa mengajukan cost recovery meski gagal menemukan cadangan migas di masa eksplorasi. Pemerintah akan mengganti biaya operasi blok itu dari hasil penerimaan di blok lain yang sudah berproduksi. Akibatnya, bagi hasil yang didapatkan pemerintah di blok yang sudah berproduksi itu akan berkurang. “Kemungkinan bagi hasil yang diterima negara jadi nol,” kata Djoko di Jakarta, Rabu (27/4).

Negara hanya mendapat penerimaan dari First Tranche Petroleum (FTP). FTP adalah adalah sejumlah tertentu minyak mentah atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender. Bagian ini bisa langsung diambil pemerintah begitu wilayah kerja tersebut berproduksi. (Baca: Penerimaan Migas Merosot Tajam)

Meski begitu, skema insentif block basis ini juga memiliki keuntungan. Adanya country basis diharapkan bisa mendorong kegiatan eksplorasi. Apalagi di tengah harga minyak saat ini, kegiatan eksplorasi terus menurun. Kas kontraktor juga agak terganggu, sehingga berpengaruh pada kegiatan pengeboran.

Kondisi lesunya kegiatan eksplorasi terlihat dari minimnya sumur yang dibor. Kementerian ESDM mencatat, selama kuartal I tahun ini jumlah pengeboran sumur eksplorasi hanya 10 sumur. Ini berbeda ketika harga minyak menyentuh level US$ 100 per barel pada 2011. Pada periode tersebut kontraktor bisa mengebor 107 sumur eksplorasi.

Selain kegiatan pengeboran yang makin berkurang, menemukan cadangan migas pun semakin susah. Dari 10 sumur yang dibor, yang terbukti memiliki cadangan migas hanya tiga sumur. Padahal, pada 2011, dari 107 sumur yang dibor hanya 34 sumur yang memiliki cadangan migas.

Jika tidak ada insentif, dikhawatirkan cadangan migas Indonesia terus menurun. Sepanjang kuartal I tahun ini cadangan migas hanya sebesar 7.018 juta tangki barel (MMSTB). Angka ini lebih rendah dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai 7.305 MMSTB. (Baca: Eksplorasi Minim, Cadangan Minyak Turun Hampir Empat Persen)

Untuk itu, perlu kajian yang mendalam sebelum menerapkan insentif tersebut. Kementerian ESDM akan bekerjasama dengan Komite Eksplorasi Nasional (KEN) untuk menghitung pengeluaran dan penerimaan negara jika menerapkan skema insentif tersebut. “Kami tidak sembarangan memberikan insentif. Kalaupun diberikan benar-benar untuk pemboran yang prospek penemuan migasnya cukup besar,” ujar Djoko.

Reporter: Arnold Sirait