Pemerintah berencana memperbaiki aturan batas minimal Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk barang dan jasa yang digunakan oleh industri hulu minyak dan gas (migas) dan penunjangnya. Kepala Dinas Kapasitas Nasional SKK Migas Ida Tota Simatupang mengatakan terobosan ini untuk meningkatkan kandungan lokal. Misalnya, menghilangkan kewajiban tender dan diganti dengan penunjukkan langsung. Syaratnya, menghadirkan kandungan lokal lebih tinggi dibandingkan para pesaingnya.

Saat ini, kata Ida, penunjukan langsung belum bisa direalisasikan. Oleh karena itu, pemerintah tengah mengkaji perubahan aturan tersebut. “Untuk penunjukkan langsung itu ada tahapannya. Itu yang diatur, kriterianya sedang dibahas,” kata Ida saat ditemui usai acara diskusi bisnis forum migas 2016 di Balai Kartini, Jakarta, Rabu, 20 April 2016.

Ketentuan pemakaian produk lokal tertuang dalam beberapa aturan di sejumlah kementerian. Misalnya, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15 Tahun 2013 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri pada Kegiatan Usaha Hulu Migas. (Baca: Soal TKDN, KKKS Minta Pemerintah Awasi Industri Penunjang Migas).

Dalam realisasi 2015, industri hulu migas sudah melampaui target TKDN yang ditetapkan pemerintah yakni mencapai 59 persen. Namun, Ida mengatakan pencapaian tersebut masih dalam tahap komitmen. Untuk itu, pemerintah terus mendorong para investor untuk merealisasikannya.

Direktur Industri Permesinan dan Alat Mesin Pertanian Kementerian Perindustrian Arus Gunawan mengatakan industri dalam negeri harus diberi kesempatan lebih besar untuk mensuplai produk ke berbagai perusahaan, terutama di industri hulu migas. “Daya saing industri dalam negeri ini akan meningkat,” ujar Arus.

Namun, dia mengakui bahwa aturan TKDN belum sempurna karena masih terlalu umum. Oleh karenanya, perlu dikaji ulang dan upaya revisi untuk memasukan aturan-aturan yang lebih spesifik. Pemerintah pun telah berdiskusi dengan berbagai pihak untuk menggali masukan. Misalnya, Kementerian akan koordinasi dengan SKK Migas. (Baca: TKDN Peralatan Hulu Migas Masih Rendah).

Sementara itu, Ketua Komunitas Migas Indonesia S. Herry Putranto mengatakan, penyebab utama rendahnya TKDN di perusahaan hulu migas Indonesia adalah kesiapan teknologi. Misalnya, dalam proyek IDD Chevron dan proyek laut dalam lainnya memerlukan teknologi yang sangat maju dan Indonesia belum siap untuk itu. “Tapi untuk pipa dan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagian sudah tidak pakai tenaga asing. Malah kita sekarang ekspor tenaga kerja,” ujarnya.

Peningkatan pemakaian komponen lokal juga dirasa penting seiring anjloknya harga minyak mentah dunia. Kinerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terpukul kejatuhan “emas hitam” tersebut. Akibatnya, eksplorasi dan eksploitasi tertahan sehingga permintaan barang dan jasa terhadap industri penunjang juga menyusut. Hal itu juga terlihat dari jumlah keikutsertaan lelang dari vendor karena berkurangnya program eksplorasi yang jumlahnya semakin menurun.

Direktur Operasi 2 PT Wijaya Karya Bambang Pramujo juga mengatakan tantangan perusahaannya serta penyedia barang dan jasa penunjang industri hulu migas semakin berat. Faktor utamanya penurunan harga minyak dunia. Akibatnya, permintaan pasokan barang dan jasa berkurang, sehingga laba perusahaan tergerus. (Baca: Penggunaan Barang Lokal di Tambang Mineral Sudah 91 Persen).

Selain itu, dengan bergulirnya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) semakin memperberat langkah industri penunjang. Namun dia optimistis industri dalam negeri, khususnya Badan Usaha Milik Negara, mampu bersaing dengan membentuk holding yang mekanismenya sedang digodok pemerintah. “Jadi kita harus sinergi menghadapi bareng-bareng,” ujarnya.