KATADATA - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas rancangan undang-undang minyak dan gas bumi (RUU Migas). Salah satu poin pembahasannya adalah peran dan kewenangan PT Pertamina (Persero) ke depan dalam mengelola aset migas. Namun, sejak dini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menegaskan, tidak ingin Pertamina memiliki peran seperti masa lalu.
“Ada orang yang punya imajinasi, apakah Pertamina bisa kembali seperti dulu. Jawaban saya: tidak bisa. Itu aspirasi dari sejumlah pensiunan Pertamina,” kata Sudirman kepada Katadata, pekan lalu.
Menurut dia, Pertamina harus didorong terus menjadi korporasi yang tanpa memiliki fungsi regulasi dan fungsi pengawasan di sektor migas. Sebagai BUMN, Pertamina memang mendapat sejumlah keistimewaan dari pemerintah. Seperti, dapat prioritas mengelola blok migas yang akan berakhir masa kontraknya. “Tapi, jangan mengembalikan fungsi Pertamina seperti dulu. Karena begitu regulatory body dicampur korporasi, itu menjadi mahluk yang susah diukur,” ujar Sudirman.
Selain itu, Sudirman berpandangan Pertamina tidak bisa menguasai semua aset dan cadangan migas di Indonesia yang selama ini dikelola oleh SKK Migas. Meskipun kelembagaan SKK Migas hanya bersifat sementara sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 silam.
Padahal, Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto pernah mengungkapkan keinginannya agar dapat memanfaatkan aset cadangan migas yang dikelola SKK Migas. Dengan menguasai aset tersebut, Pertamina dapat meningkatkan kemampuan pendanaannya untuk membiayai investasi terutama di sektor hulu migas. “Jadi, kalau memang semua sepakat ingin membangun kedaulatan dan kemandirian energi maka semestinya seluruh kekuatan dan aset, termasuk aset negara kelolaan SKK Migas, bisa diintegrasikan ke Pertamina,” kata Dwi kepada Katadata, bulan lalu.
(Baca: RUU Migas Masih Minim Pembahasan di DPR)
Ia menjelaskan, Pertamina saat ini memiliki kemampuan investasi sekitar US$ 5 miliar setahun. Sumber pendanaannya, sekitar 30-40 persen dari modal sendiri dan sisanya pinjaman. “Kami bisa mem-plot bahwa target investasi upstream (hulu migas) sekitar US$ 3 miliar per tahun,” ujarnya. Sisanya untuk investasi hilir, seperti investasi kilang.
Ke depan, menurut Dwi, kemampuan investasi Pertamina bisa berlipat ganda kalau dapat meningkatkan kemampuan pendanaan (leverage) dari cadangan migas yang menjadi milik negara saat ini. Sebab, dengan cara ini, kemampuan pendanaan Pertamina bertambah besar.
(Baca: Bahas RUU Migas, DPR Usulkan Pembubaran SKK Migas)
Apalagi, kalau pemerintah memang ingin membangun kedaulatan dan kemandirian energi maka semestinya seluruh kekuatan dan aset, termasuk aset negara kelolaan SKK Migas, bisa diintegrasikan ke Pertamina. “Hal ini tergantung pada kebijakan pemerintah ke depan,” katanya.
Namun, Sudirman menilai aset migas di Indonesia akan tetap dikelola oleh SKK Migas dengan perspektif bisnis. "Seperti korporasi, diberikan kewenangan untuk deal dengan kontraktor," katanya. Untuk itu, RUU Migas memuat perubahan status SKK Migas menjadi BUMN Khusus. Pengelolaannya di bawah pengawasan Kementerian ESDM, namun berperilaku seperti BUMN. Artinya, tunduk pada UU Migas dan pada UU perseroan. "Yang namanya badan usaha ada direksi, komisaris, dan pertanggungjawabannya."
(Baca: Tiga Tahun Molor, SKK Migas Desak DPR Rampungkan RUU Migas)
Sekadar informasi, pembahasan RUU Migas masih belum mengalami banyak perkembangan. Meski sudah masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun lalu dan tahun ini, tapi pembahasannya selama ini masih minim. Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gus Irawan Pasaribu mengatakan, ada satu poin penting yang menjadi isu krusial yang akan dimasukan dalam draf RUU tersebut, yakni mengenai fungsi dan keberadaan SKK Migas.