Dorong Kemudahan Berusaha, Penyelesaian Kepailitan Dipercepat

Katadata
Suasana sidang di pengadilan (KATADATA | Arief Kamaludin)
Penulis: Yura Syahrul
7/3/2016, 17.00 WIB

KATADATA - Kemudahan berusaha di Indonesia masih ketinggalan dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Dua dari 10 indikator indeks kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) versi Bank Dunia yang terkait dengan ranah hukum dan perlu segera dibenahi adalah penyelesaian kepailitan (resolving insolvency) dan penegakan kontrak (enforcing contract).

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, penyelesaian kepailitan usaha di Indonesia masih sering berlarut-larut karena berkaitan dengan masalah politik dan sosial. “Masalah itu jadi rumit, saat dimulai ada persoalan tanah yang rawan. Karena sudah bergabung berbagai aspek bukan hanya ekonomi, politik, sosial, penegakan hukum yang lalu,” katanya dalam seminar bertajuk “Kontribusi Peradilan dalam Mendorong Kemudahan Berusaha” di Jakarta, Senin (7/3).

Karena itulah, dalam survei kemudahan berusaha pada akhir tahun lalu, Bank Dunia menempatkan penyelesaian kepailitan di Indonesia pada peringkat 77. Ini lebih rendah dari tahun sebelumnya yang berada di posisi 73. Sedangkan peringkat penegakan kontrak tetap, dengan rata-rata skor waktunya hingga 460 hari.

Menurut Darmin, persaingan usaha sering menimbulkan perkara berupa tuduhan pelanggaran, kartel, atau praktik monopoli. Ia mencontohkan beberapa kasus kepailitan yang melibatkan pemerintah, juga membutuhkan waktu lama. Seperti, penyelamatan perbankan akibat krisis pasar keuangan. “Di Indonesia menghitung (aset) itu susah karena kadang tidak jelas. Banyak sekali yang abu-abu. Kalau jelas hitam-putihnya pasti tidak masalah.”

(Baca: Bulan Ini, Pemerintah Rilis Banyak Aturan Kemudahan Berusaha)

Seperti diketahui, setiap tahun Bank Dunia mengukur kemudahan berusaha di 189 negara melalui survei. Kegiatan tersebut dilakukan setiap Maret-Juni. Survei 2015 lalu, Bank Dunia menempatkan Indonesia di posisi 109. Adapun negara tetangga, menempati urutan yang lebih baik. Malaysia misalnya, berada di peringkat 18. Sedangkan Thailand dan Vietnam menempati posisi 48 dan 90.

Pemeringkatan itu berdasarkan 10 indikator. Yaitu: memulai usaha (starting a business), perizinan (dealing with construction permit), pendaftaran properti (registering property), pembayaran pajak (paying taxes), dan akses kredit (getting credit). Selain itu, penegakan kontrak, akses listrik (getting electricity), perdagangan lintas negara (trading across border), penyelesaian kepailitan dan perlindungan pada investor minoritas (protecting minority investors).

(Baca: Perbaiki Kemudahan Berusaha, Pemerintah Revisi 22 Peraturan)

Dalam kesempatan ini, Ketua Mahkamah Agung Muhammad Hatta Ali menilai, kepastian penegakan kontrak dan penyelesaian kepailitan sangat penting bagi dunia usaha. Karena itu, badan peradilan berperan mendukung kemudahan berusaha yakni melindungi hak pengusaha dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam sengketa. “Merupakan koreksi bagi badan peradilan, bahwa seringkali kasus yang ditangani butuh waktu yang sangat lama sehingga mempengaruhi kelangsungan usaha tanpa ada kepastian,” katanya.

Upaya yang dilakukan oleh MA yakni mempercepat penyelesaian gugatan sederhana dengan nilai di bawah Rp 200 juta. Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2015 mengatur perkara sederhana diselesaikan secepat-cepatnya 25 hari sejak sidang hari pertama. Sebelumnya bisa memakan waktu 471 hari. Dalam aturan ini, prosedur juga dipangkas dari 40 menjadi delapan. Rata-rata biaya dari 115 persen terhadap nilai sengketa juga dipotong menjadi 1,5 persen.

(Baca: Urus Izin Hak Guna Bangunan Selesai Dalam Dua Hari)

Aturan lainnya yakni Peraturan MA Nomor 2 Tahun 2016 tentang mediasi. Dalam beleid ini penyelesaian mediasi selama sebulan. Ini juga sudah dipangkas dari sebelumnya 40 hari. Lalu, ada Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan Tingkat I dan Tingkat Banding pada empat lingkungan peradilan. Waktu penyelesaiannya dipotong dari enam bulan menjadi lima di Tingkat I, dan menjadi tiga bulan di Tingkat Banding.

Reporter: Desy Setyowati