KATADATA - Pemerintah menganggap korupsi sudah menjadi momok karena menggerogoti kekayaan negara. Tak hanya itu, tindak koruptif pun dinilai menyengsarakan masyarakat dengan menggererus potensi keuangannya. Karena itu, pemerintah kerap menekankan bahayanya tindak pidana ini.
Sayangnya, indeks perilaku anti korupsi (IPAK) 2015 malah terlihat turun. Badan Pusat Statistik hari ini mengumumkan IPAK tahun lalu 3,59 pada skala nol sampai lima. Angka tersebut lebih rendah dari 2014 yang berada di posisi 3,61. Nilai yang mendekati lima menunjukkan bahwa masyarakat semakin anti korupsi. Sebaliknya, level mendekati nol berarti masyarakt semakin permisif terhadap korupsi. (Baca: Pelayanan Publik Biang Keladi Penurunan Indeks Anti Korupsi 2015).
Dari hasil survei BPS terhadap 10 ribu rumah tangga terlihat bahwa sejumlah kebiasaan yang mengarah pada perilaku korupsi masih dianggap wajar. Misalnya, dalam hal sikap istri yang menerima uang pemberian suami di luar penghasilannya tanpa mempertanyakan asal-usul uang tersebut, sebanyak 23,96 persen responden menganggapnya wajar.
“Sekitar 76 persen masyarakat menyatakan kurang wajar,” demikian hasil survei tersebut yang dirilis hari ini, Senin, 22 Februari 2016. Sementara itu, sebanyak 19,95 persen masyarakat menganggap wajar bila seorang pegawai negeri bepergian bersama keluarga menggunakan kendaraan dinas untuk keperluan pribadi. Sebaliknya, sebagian besar lainnya menilai tidak wajar.
Masih dalam lingkup keluarga, sebagian besar masyarakat, 97,31persen, menganggap tidak wajar bila ada seseorang yang mengetahui saudaranya tanpa izin mengambil uang orang tua dan tidak melaporkannya. Hanya sedikit selebihnya yang menilai wajar. (Baca juga: Cegah Kriminalisasi, Pemerintah Siapkan Perlindungan Hukum Pejabat).
Dalam lingkup komunitas, pandangan masyarakat terhadap berbagai isu yang “dekat” dengan praktik korupsi bahkan lebih terbuka. Misalnya, sebagian besar masyarakat, sebanyak 73,68 persen, menganggap lumrah bila memberi uang atau barang kepada tokoh adat, agama, masyarakat, ketika suatu keluarga melaksanakan hajatan. Hanya sebagaia kecil selebihnya yang menilai tak patut.
Atau contoh lain dalam pemberian uang atau barang kepada tokoh adat, agama, dan masyarakat. Sebanyak 53,58 persen menganggap hal tersebut wajar. “Sebanyak 36 persen menganggap kurang wajar atau tidak wajar,” demikian survei tersebut.
Melihat hasil survei ini, Direktur Perundang-undangan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Diani Sadiawati mengatakan datanya bisa dijadikan landasan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan. Namun, dia berharap dalam survei selanjutnya para penyelenggara negara diikutsertakan agar semakin menghasilkan data yang kredibel. “Survei ini menggunakan satu komponen sasaran survei. Belum mengintegrasikan komponen penyelenggara negara,” ujar Diani.
Sementara itu, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan menyatakan penurunan IPAK penting dicermati KPK. Namun kasus ini tidak akan diusut oleh lembaganya karena nilainya sangat kecil. Namun, lembaga anti rasuah tersebut akan berusaha untuk mencegah agar perilaku korupsi tidak terus berjalan. Harapannya, angka persepsi dan pengalaman bisa naik di survei berikutnya. Oleh karena itu KPK akan mendorong Pemerintah Daerah untuk menjalankan tiga kegiatan. “Menerapkan e-bugeting, e-procurement, dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP),” ujar Pahala.